KERIS

12 05 2009

SEJARAH & FUNGSINYA

2642_1037111769826_1286456653_30125432_6152343_sDi kalangan sementara masyarakat Jawa sebelum Perang Dunia kedua yang lalu ada yang beranggapan, bahwa seseorang dikatakan berkecukupan apabila memiliki:
rumah, isteri, kuda, burung dan keris (wisma, garwa, turangga, kukila lan curiga).

Pada kesempatan ini akan dibicarakan keris sebagai salah satu unsur budaya yang dikenal luas oleh masyarakat Jawa khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Keris sebagai senjata pendek, dikenal di kepulauan Nusantara dengan beraneka corak dan bentuk, semenetara itu kedudukannya mempunyai tempat tersendiri di hati para pendukungnya apabila dibanding senjata-senjata yang lain. Dari sudut hasil seni dan budaya Indonesia, keris juga menduduki tempat yang menarik untuk dibicarakan.
Dalam pembicaraan kali ini penulis membatasi diri pada sejarah keris, yaitu mencoba mempersoalkan bilakah keris diduga muncul dalam bentuknya seperti sekaragn ini, serta fungsinya dalam masyarakat.
Membicarakan tentang tuah, sakti, filsafat, pamor dan ragam hias keris saya sisihkan dahulu untuk tidak berkepanjangan. “Para sepuh Jawa” dapat berbicara dan berdebat panjang lebar tentang hal ini. Hingga menjelang akhir abad XX ini rupa-rupanya keris sebagai hasil seni dan budaya Indonesia masih mempunyai kedudukan penting pada sementara bangsa Indonesia, baik dari sudut pandangan kepercayaan maupun sebagai alat upacara. Demikian pula kedudukan seorang “empu” yang membuat keris pada masa lalu sangat terhormat dan diingat orang sampai jauh masa kemudian.

2642_1037111889829_1286456653_30125435_4419113_s Sir Thomas Stanford Raffles dalam kitabnya History of Java (1817) menyebutkan tidak kurang ada tiga puluh macam senjata yang dimiliki dan dipergunakan prajurit Jawa (termasuk senjata api), tetapi yang mendapat kedudukan khusus dalam hati masyarakat hanyalah keris, yaitu sebilah senjata pendek yang mempunyai sepasang mata tajam meruncing ke arah ujungnya, ada yang lurus ada pula yang berluk.(TS Raffles di dalam The History of Java, London 1817, Vol 1, hlm, 294-297). Di dalam cerita-cerita rakyat dan hasil kesasteraan banyak disebut-sebut tentang keris dan keampuhannya, termasuk keampuhan empu yang emmbuatnya. Dalam cerita rakyat ajisaka yang sangat dikenal masyarakat disebutkan ada dua orang abdi mati memperbutkan keris, karena patuh kepada pesan tuannya. Di dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama disebutkan riwayat Ken Arok sebagai pendiri dinasti Singasari yang membunuh Empu Gandring. Akibat kutuk dan tuah keris Empu Gandring mengakibatkan matinya anak, cucu keturuanan pendiri kerajaan Singasari (J. Brandes, Pararaton (Ken arok) of het Boek der Koningen van Toemapel en van Majapahit. hlm, 12… Samengko sira Gandring angucap: “Ki Angrok, kang amateni ing tembe keris iku, anak putunira mati dene keris itu, olih ratu pipitu tembe keris iku amateni” , sementara itu sumber kesasteraan Babad antara lain dari Babad Tanah Jawa, dapat kita baca peristiwa berdarah dengan menggunakan keris. Bahkan dalam cerita yang berlatar belakang “percintaanpun” keris pun ikut berperan seperti: Terbunuhnya R. Pekik dari Surabaya beserta 40 orang anggota keluarganya pada tahun 1668, karena menyerahkan Roro Oyi atau Ratu Blitar calon isteri Amangkurat I kepada cucunya Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom Putra Amangkurat I). Karena sangat marah bakal permaisurinya “didahului” oleh putra mahkota. amangkurat I juga menyuruh membunuh Ratu Blitar dengan keris yang harus dilakukan oleh Pangeran Adipati (putera mahkota sendiri). Cerita percintaan Rara Mendut – Pranacitra; Raden Pabelan; dan sebagainya berakhir dengan pembunuhan dengan keris. Di dalam Serat kanda bahkan menyebutkan, bahwa banyak empu (pandai besi pembuat keris) yang ampuh, pindah dari Pajajaran ke Majapahit, karena kurang mendapat penghargaan dari penguasa, sehingga mengakibatkan runtuhnya kerajaan Pajajaran. Pada jaman Metaram Islam diberitakan bahwa Ki Ageng Wanabaya (Ki Ageng Mangir) memiliki keris atau tombak pendek bernama Kyai Baru yang sangat ampuh. Ceritera tentang Ki Ageng Mangir sangat populer di kalangan masyarakat Yogyakarta. Cerita rakyat dan hasil-hasil kesastraan yangmenyebutkan keampuhan, kegaiban keris dan empunya, menjadikan keris lebih mendapat tempat di hati masyarakat Jawa. Cerita tentang keris makin ebrkembang dari mulut ke mulut yang dibumbui dengan macam-macam kegaiban yang sukar dibuktikan secara rasional. Karena menyangkut hal “yang gaib” maka juga berhubungan dengan kepercayaan, sehingga sulit diterangkan.
2642_1037113009857_1286456653_30125441_2063232_s Sumber kesastraan Jawa Kuna dan prasasti yang menyebutkan tentang pandai logam disebut dalam kitab Adiparwa, Tantu Panggelaran, Negarakertagama antara lain disebut: Apande gending, apande wesi, pande mas/ pande kencana, pande dadap. Sedang prasasti Watukura menyebutkan adanya pande mas, kangsa wesi, dadap. Adapun tentang status pande logam ini sementara berita meletakkan dalam teras jabatan keraton, jadi meletakkan pentingnya golongan ini dalam suatu kerajaan, sementara pendapat yang lain meletakkan dalam golongan kasta Sudra dan termasuk golongan Asta Candala (delapan pekerjaan yang dianggap hina), mengapa demikian belum jelas. Di dalam prasasti Karangtengah (746 C atau 824 A.D. menyebut kata patuk kres
. Apakah kata “kres” di sini sama dengan keris seperti pengertian kita sekarang belum jelas. Sayang di Jawa Tengah saat itu (Mataram Kuna di Jawa Tengah, dari prasasti juga tidak didapatkan berita tentang keris; maka perlu dicoba mencari bukti-bukti pada relief-relief candi.
Di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta banyak terdapat peninggalan bangunan Candi. Pada tubuh candi terdapat relief-relief yang diantaranya melukiskan kehidupan sehari-hari. Di Candi Borobudur tidak didapatkan gambar keris di antara adegan dalam reliefnya, sungguhpun banyak gambar alat-alat senjata. Demikian pula pada relief canti Prambanan yagnbanyak menggambarkan adegan peperangan dalam cerita Ramayana dan Kresnayana, tidak ada satupun alat-alat perang yang digambarkan di relief-relief yang melukiskan gambar keris seperti yang kita kenal sekarang.
Macam-macam senjata yang terlukis pada canti Prambanan dan Borobudur adalah jenis panah, alat pemukul dan senjata pedang yang berbentuk senjata tajam yang mempunyai fungsi untuk memukul, bukan alat penusuk seperti keris, memang ada alat penusuk mirip golok.
2642_1037113609872_1286456653_30125445_7361388_s Memang di Stupa induk Borobudur konon pernah didapatkan sebilah keris dapur Majapahit pada waktu diadakan penggalian tanah di bawah stupa induk oleh Residen Kedu Hartmann pada tahun 1842; hal ini memang mengherankan. Prof. Barnet Kempers menduga alat ini (keris) ditaruhkan oleh seseorang pada masa kemudian. Jadi pada relief candi yang puluhan jumlahnya di Jawa Tengah dan DIY tidak didapatkan relief gambar keris, kecuali di candi Sukuh. Sungguhpun geografis candi Sukuh terletak di Jawa Tengah, tetapi bangunan candi Sukuh berasal/bergaya Jawa Timur yang dibangun pada abad XV akhir.
Di candi Sukuh yang terletak di kaki gunung Lawu, Jawa Tengah, terdapat relief dua tokoh pande besi yang sedang bekerja dengan hasil-hasil karyanya dipajangkan di atas semacam meja. Meskipun cara penggambaran pada relief-relief Sukuh ini tidak selengkap dan sejelas hasil kesastraan, akan tetapi dapat memberikan sedikit gambaran antara lain mengai:
a) Cara kerja pande besi pada waktu itu; b) alat-alat perlengkapan pande besi; c) hasil karya yang dikerjakan.
ad.a. Apabila memperhatikan posisi masing-masing tokoh pekerja pada relief pande besi
di Candi Sukuh, dapat diperoleh gambaran tentang cara kerja mereka.
Nampaknya tidak jauh berbeda dengan cara kerja pande besi masa sekarang
di desa-desa. Untuk melakukan pekerjaan tersebut paling tidak diperlukan dua orang
pekerja, yaitu seorang pengubub (pembuat dan pemompa api) dan pande besinya.
Pande besi biasanya beranggotakan lebih dari seorang yang bertugas memanaskan
besi yang akan ditempa dan membentuk menjadi alat senjata.
ad.b. Alat perlengkapan berupa ububan (pompa) untuk memberi angin pada api.
Bentuk dan fungsi ububan masih tetap seperti bentuk ububan masa kini
di desa-desa. Demikian pula bentuk tapak, martil (palu), gurinda dan sebagainya.
ad.c. Hasil karya berupa alat-alat senjata antara lain keris, tombak, kudi dan jenis-jenis senjata lainnya.

Relief candi merupakan karya seni tertua yang sudah semenjak lama mendapat perhatian para sarjana sejarah seni ru0pa. Relief-relief candi tersebut betulkah mencerminkan kehidupan masyarakat pada jamannya, ataukah hanya fantasi si seniman saja? Dalam hal ini rupa-rupanya para Sarjana belum mendapatkan kesatuan pendapat. Rupa-rupanya dalam hal ini bahkan ada yang mengembalikan kepada pertanyaan, siapakah seniman-seniman pendiri candi di Indonesia? Apabila kita menerima pendapat-pendapat seperti N.J. Krom; FDK. Bosch, W.F. Stutterheim akan menjadi mudah, karena seniman-seniman pendiri candi menurut mereka adalah orang-orang Indonesia. Jadi pastilah si seniman tidak dapat melepaskan dirinya dari masyarakat Jawa sekelilingnya, sehingga apa yang tertulis, sungguhpun yang dipahatkan cerita hasil kesusastraan Hindu, namun si seniman akan menyisipkan apa yang dilihat dan dirasanya di dalam pelukisannya. Barang tentu dalam penilaian hal semacam ini perlu diingat kemungkinan adanya fantasi atau imajinasi si seniman sebagai pribadi. Baru masa kemudian di candi-candi Jawa Timur terdapat berita berupa gambar keris pada reliefnya, yaitu di candi Jago atau Jajagu dari abad 13M (1268), yaitu pada relief yang menggambarkan pandawa yang sedang bermain judi (dadu). Pada relief ini tergambar para punakawan yang duduk pada sisi belakang membawa senjata keris. Kecuali pada candi Jago juga pada candi Tegawangi (di Pare, Kediri) dan di candi Penataran terdapat empat relief yang menggambarkan tokoh-tokoh yang membawa keris.
Sumber berita yang berupa Seni Patung yang dipahat membawa sebilah keris, didapatkan oleh M.M. Soekarto Kartoatmodjo di Bedulu, Bali. Patung tersebut berbentuk patung Ganesa perunggu yang pada tangan kanannya membawa sebilah keris yang patah (sebagai pengganti taring yang lazim dibawa patung Ganesa). Berasal dari abad berapakah patung ini dibuat, tidak jelas. Yang menarik ialah letak penemuan patung tersebut, ialah di dekat sungai Pakerisan.
Pertunjukan wayang adalah salah satu hiburan yang sangat digemari masyarakat Jawa, khusunya wayang kulit. Ternyata pada “tokoh-tokoh utama” wayang Purwa tidak didapatkan satupun yang digambarkan membawa senjata keris, kecuali tokoh raksasa. Untuk tokoh-tokoh raksana bahkan ada yang digambarkan membawa pistol atau kanon.
Baru kemudian gambar keris itu terlukis dibawa oleh tokoh-tokoh dalam wayang Gedhog yang muncul di Jawa Timur dengan cerita panji (Jenggala – Kediri abad XI). Tokoh laki-laki dalam wayang Gedhog digambarkan mengenakan senjat keris seperti bentuk keris jaman sekarang, (Sebagai contoh bahwa dalam wayagn purwa tokoh-tokoh utama tidak mengenakan keris periksalah wayang kulit purwa seperti tokoh Pandawa, Kresna dan sebagainya).demikian halnya tokoh laki-laki dalam wayang beber. Sayang sekali bahwa wayang Gehok dan wayang beber tidak hidup langsung dan kini tidak terkenal lagi.
2642_1037113649873_1286456653_30125446_804278_s Demikianlah tentang senjata keris yang kami cari dari sumber berita yang berasal dari hasil cerita rakyat folklore; kesastraan; prasarti; relier candi; seni patung dan dari gambar tokoh-tokoh wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedhog dan wayang Beber.

Seperti tersebut dalam bab di atas, bahwa alat-alat senjata yang terpahat pada relief candi Borobudur dan Prambanan kebanyakan berupa senjata pedang yang berfungsi untuk memukul (Jawa: Nyabet), sedang keris dan tombak dipergunakan sebagai senjata penusuk (Belanda Steek-wapen).
Ada sementara pendapat bahwa keris adalah pertumbuhand ari senjata untuk menusuk dari jaman prasejarah, yaitu dari tulang atau sengat ikan pari. Tulang yang ditajamkan atau sengat ikan pari yang dihilangkan pangkalnya kemudian dibalut dengan kain sebagai tangkai, maka dapatlah dipegang (digenggam) di antara ibu jari dan jari-jari yang lain sebagai senjata pendek yang berbahaya. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh G.S. Gardner (1936). Bahkan Gardner telah mencoba memasang hulu keris pada bilah sengat ikan pari dan diberi bersarung (warangka).
Pendapat bahwa senjata keris adalah pertimbuhand ari sengat ikan pari atau dari sebatang tulang yang ditajamkan pada satu sisinya tidak dapat diterima oleh G.C. Woolley (1947) dan Barnet Kempers (1954). Ikan pari tidak mudah didapat, apalagi bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah pedalaman kepulauan Nusantara ini. Daripada sulit mencari sengat ikan pari sebagai bilah senjata, lebih mudah orang menggunakan bilah buloh bambu yang banyak diketemukan di mana-mana.
Adapun tentang bisa (racun) yang terdapat pada sengat ikan pari, sebenarnya tidak terletak pada duri-duri sengat ikan pari itu sendiri, tetapi justru terdapat pada kelenjar yang ada pada pangkal sengat ikan pari yang masih hidup. Memang duri-duri pada sengat ini berbahaya juga, tetapi duri-duri yang bergerigi itu bukan prototype senjata keris.

2642_1037113689874_1286456653_30125447_3476043_s Keris merupakan senjata yang diberi kedudukan terhormat bukan sekedar perkakas, karena itu diberi individualitas dengan diberi nama-nama seperti manusia misalnya: Kyai Sengkelat; Joko Piturun; Empu Gandring; Kyai Baru Klinthing dan sebagainya. Dari nama-nama dan cerita masing-masing memberikan dedudukan sebilah keris menjadi terkenal dan makin tinggi di mata yang mempercayainya. Sebenarnya pemberian nama bagi suatu senjata adalah bukan hal yang istimewa. Di Eropa pemberian nama kepada sebuah senjata juga lazim dan dikenal sejak kuna, misalnya pedang bernama Kolbert, Karel de Groot. Tefelfond dan sebagainya. Sama halnya dengan jaman kita sekarang, ada senjata dengan nama Mauser; Lee Enfield; Soyuz; Fokker dan sebagainya. Kapal laut, kapal terbang, peluru kendali (Exoyet, Side wider dsb), tank juga diberi nama.
Bentuk bilah senjata keris berkelok-kelok (luk atau lurus (dapur lurus) juga terdapat pada senjata perunggu dari jaman prasejarah di Tiongkok dan Indo China. Bedanya dengan Wilahan keris jaman sekarang ialah, kelok-kelok (luknya) tidak teratur dan tidak seindah wilahan keris yang berkelok-kelok seperti ular.
Sementara itu sumber dari Luar Negeri tentang keris, didapat berita Tiongkok yang menyebutkan, bahwa pada abad XV merupakan kebiasaan bagi seorang laki-laki Jawa selalu membawa sebilah keris (Historical notes on Indonesia and Maly, ditulis oelh W.P. Gruneveldt, diterbitkan CV Bhratara, 1960).
Kecuali di Jawa keris juga terdapat di bali, bedanya hanya bentuk dan ukurannya saja yang lebih besar. Fungsi serta kedudukan keris dan empu pembuatnya juga mendapat tempat terhormat. Keris di Bali juga mempunyai kedudukan sosial dan spiritual yang tinggi seperti di Jawa. Diperkirakan keris dikenal di Bali semasa kekuasaan Jawa Timur.
Di luar pulau jawa (bagian dari kepulauan Indonesia) juga dikenal bentuk-bentuk senjata pendek seperti keris, hanya mempunyai variasi yang agak berbeda. Tradisi menyebutkan bahwa alat senjata ini sampai di daerah-daerah di luar Jawa yaitu pada jaman Mahapatih Gadjah Mada, misalnya da keris di Sulawesi, di Sukadana, Kalimantan dan sebagainya. Bentuk dan ukuran keris Sulawesi ini agak lebih besar dibanding dengan keris Jawa, dan peranan empu pembuat keris di sini juga besar di dalam masyarakat. Empu pembuat keris di Sulawesi ini disebut dalam bahasa Jawa yaitu: Pande. Rupa-rupanya jaman Majapahit dahulu para bangsawan seperti halnya di kerajaan-kerajaan Jawa dan Bali sekarang, menganggap keris sebagai alat senjata yang penting dan dibawa kemana-mana mereka pergi, serta merupakan petunjuk derajat (status) yang memilikinya.
2642_1037114729900_1286456653_30125453_907726_s Berdasar pengamatan dan membanding sumber-sumber berita seperti tertera di atas, yaitu dari: cerita rakyat; hasil kesastraan; prasasti; relief-relief candi; patung; wayang kulit; gedhog; beber dan purwa; serta berita dari Luar Negeri (Tiongkok); ditambah dirunut dari bentuk tangkai (ukiran) dan bilah (wilahan) keris, dapat disimpulkan bahwa keris mendapatkan bentuknya yang tetap seperti sekaragn ini baru pada sekitar abad ke XIV. Sungguhpun Fritz A. Wagner menyebutkan, bahwa ada senjata keris yang emmuat angka tahun C 1264 atau tahun 1342 A.D. Dalam hal ini keris tersebut memiliki bentuk seperti kebanyakan keris-keris sekarang dengan hiasan yagn bagus. Apabila angka tahun C 1264 itu benar sebagai tahun pembuatan keris tersebut, maka seharusnya lama sebelum itu keris sudah merupakan senjata yang sudah umum.
(dikutip dari “Keris Sejarah dan Fungsinya” Penulis: Djoko Sukiman, Seri Penerbitan Proyek Javanologi No.3., Th.I.1983,)





KELUARGA PANDAWA

28 03 2009

bamb2Nafsu yang bermacam-macam diperankan dalam pentas wayang oleh keluarga besar Kurawa. Nafsu merupakan lapisan terluar dari jiwa manusia, meneruskan tuntutan kedagingan. Adanya nafsu-nafsu merupakan pernyataan alamiah dari kenyataan adanya kesadaran akan jasmani dan merupakan suatu kodrat alam untuk memelihara adanya jasmani, selama jasmani masih diperlukan sebagai alat-alat pelaksana. Tuntutan kedagingan itu timbul secara otomatis. Agar supaya pemenuhan terhadap tuntutan kejasmanian itu terarah, kemaha bijaksanaan hidup yang meliputi semuanya, merefleksi didalam jiwa. Refleksi ini tercermin secara terus menerus dan tertangkap oleh laporan jiwa yang terdalam yang di dalam pernyataannya disadari sebagai cipta, nalar dan pengerti atau secara keseluruhan disebut angan-angan.
Dengan demikian laporan jiwa itu atau angan-angan itu berkemampuan utnuk menangkap refleksi dari “Sumbernya”, sehingga angan-angan berkemampuan: cipta, nalar dan pengerti.
Di dalam meneruskan getaran “Sumbernya” kepada kesadaran alami dan jasmani, angan-angan yang bersifat non materi-bekerja sama dengan anasir-anasir alamiah dan jasmaniah yang bersifat meta materi dan materi sehingga getaran-getaran itu dapat disampaikan dan diterima secara phisik yang tidak berdimensi.
Hal-hal tersebut digambarkan oleh putra-putra Pandu Dewanata. Pandu Dewanata yang kita ketahui bahwa mempunyai ciri “tengeng” (tidak dapat menoleh). Atau hanya memandang lurus. Atau menghadap kesatu arah. Atau benar. Kebenaran ini menjadi ciri ilmu pengetahuan hanya dapat dimengerti dipancarkan oleh cipta, nalar, dan pengerti yang disebut angan-angan.
Pandhu Dewanata bersiterikan dewi Kunthi Nalibrata berputra 3: Yudisthira, Bhima dan harjuna.
Pandhu Dewanata beristrikan dewi Madrim memperoleh 2 putra kembar: Nakula dan Sadewa.
Dengan demikian Pandawa atau Pandhu Putra berjumlah 5 dan disebut Pandhawa Lima.
Dewi Kunthi Nalibrata melukiskan tingkat kesadaran yagn dicapai dengan jalan bertapa. (Nalibrata= dicapai dengan bertapa). Ialah tingkat kesadaran jiwa yang terbebas dari pengaruh desakan kedagingan atau sekurang-kurangnya tingkat kesadaran jiwa yang telah dapat mengendalikan desakan nafsu kejasmanian.
Dewi Madrim melukiskan tingkat kesadaran yang bekerja sama dengan Materi (Madrim= tanah= bumi).
Dengan demikian angan-angan (cipta, nalar, pengerti) di dalam jiwa manusia menyatakan diri di dalam 3 tingaktan kesadaran yagn selalu berorientasi ke dalam sumbernya dan 2 tingkat kesadaran yang berorientasi dengan anasir jasmani.
Putra-putra Pandhu dengan dewi Kunthi, menyatakan kesadaran “dalam”, sedang putra-putra Pandhu dengan dewi madrim menyatakan kesadaran “luar”.
Tingkat kesadaran “dalam” berada atau tersadar di dalam 3 tingkat alam kesadaran.

  1. Tingkat kesadaran Luhur berada atau bertitik sadar dialam sejati. Terlepa dari pengaruh-pengaruh jasmani. Bersifat abadi. Ditokohkan oleh Yudisthira.
  2. Tingkat kesadaran pikir atau nalar dan pengerti sejati, bertitik sadar di dalam alam Budi, ditokohkan oleh Bhima.
  3. Tingkat kesadaran cipta bertitik sadar dalam alam cipta ditokohkan oleh Harjuna. Tingkat kesadaran “luar” disadaari oleh dua bentuk kesadaran:
  4. Bentuk Panca Indera jasmaniah berada dalam badan , ditokohkan oleh Nakula.
  5. Bentuk panca intera halus berada dalam badan jasmani halus, ditokohkan oleh Sadewa.

YUDISTHIRA

Berasal dari: Yudhi berarti ahli perang atau pahlawan perang. Isthira berarti kemantapan kemauan batiniyah yang emngarah ke dalam. Ke dalam sumbernya. Sehingga Yudisthira berarti pahlawan perang di dalam berqiblat kepada Yang Maha Esa. Karena itu tidak ada kesempatan anasir lain yang bertingkatan rendah dapat mempengaruhinya. Karena selalu ingat kepadaNya. Oleh karena itu dikatakan bahwa Yudisthira berdarah putih atau suci.
Disebut juga Dharma Kusuma, berati bunga yang amat bagus. (Dharma=bagus, terang, adil). Disebut juga Dharma Raja atau Ratu adil. Karena adil adalah sifat yang terpancar dari ke Maha adilan. Oleh karena itu selain dekat dan didekati oleh ke Maha adilan maka Dharma Raja akan memancarkan sinar keadilan itu. Disebut juga Dharma Wangsa, yang berarti bangsa yang bagus atau sesuatu dan segala sesuatu yang bagus. Disebut juga Dharma Putra. Berarti selalu mengadakan hubungan ke dalam dengan “asal hari keadilan” atau “sifat Maha Adil”.
Disebut juga Punta Dewa. (Punta=anak panah). Punta Dewa berarti anak panah dari dewa. Oleh karena titik sadar selalu berada dalam alam sejati, dengan demikian selalu ingat kepadaNya, selalu terang, sehingga tak ada kesempatan dari satu titik gelap dapat menguasainya. Di dalam titik sadar tepat di mana kemaha kuasaan dan kemaha bijaksanaan menyinggung kesadarannya. Oleh karena itu memancarlah kebijaksanaan dari ke Maha bijaksanaan. Keadilan dari ke Maha adilan kekuasaan dari ke Maha kuasaan. Hal ini dilukiskan dengan perkataan: Punta Dewa atau anak panah dari Dewa. Anak panah yang langsung terlepas dari Dewa.
Disebut juga Dwijo Kongko berarti Raja dari sekalian pendeta. Atau maha pendeta atau maha guru. Berarti pendeta yang paling mumpuni.
Yudisthira adalah raja Amarta. Amarta berasal dari Amretha berarti air kekal, tidak dapat musnah atau abadi.alam yang abadi adalah alam sejati. Kesadaran hidup yang selalu tepat berada pada titik sadar yang disinggung oleh Yang Maha Esa, tidak tergantung lagi oleh keterbatasan yang disebut jasmani, yang bersifat fana. Titik sadar ini telah meraih kebakaan dan berada dalam alam sejati yang abadi.
Keadaan ini baru disadari oelh kesadaran manusia dengan alat angan-angan yagn berada di dalam kancah kejarmanian yang disebut otak. Di dalam wayang disebutkan bahwa sebelum Yusisthira lahir, lahirlah dulu Bhima dalam keadaan Terbungkus (terdapat dalam kisah “Bima Bungkus”). Kemudian barulah lahir Yudisthira. Jelas melukiskan bahwa adanya “Manusia sejati”, yang bersifat abadi barulah disadari adanya setelah manusia jasmaniah memeahkan bungkusnya yang pertama yangberupa angan-angan dan mengarahkan kemampuannya yang berupa cipta nalar dan pangerti yagn bekerja di dalam otak untuk menghayati adanya manusia sejati (disebutkan lebih jauh di dalam penelasan tentang Bima).
Jadi Yudisthira melukiskan tingkat kesadaran luhur yang titik sadarnya dalam alam sejati yang menyinggung tepat pada titik kesadaran itu.
Disebutkan bahwa Yudisthira mempunyai senjat berupa Kitab Sakti: “Kalimasada Pustaka Jamus”. Kalima= lima pada keseluruhannya: usada= penyembuhan, usaha yang baik menuju kesehatan; Pustaka Jamus= Kitab Suci). Sehingga keseluruhannya akan berarti: lima jalan yang baik atau lima jalan rahayu atau lima jalan menuju kebahagiaan.
Dari sudut yagn lain dapat diartikan juga bahwa “kali” adalah sifat Sakti dari kemaha Kuasaan Tuhan YME. Maha berarti paling. Usada pergeseran dari hoshada yang berarti buah suci. Sehingga kali Masada berarti buah suci anugerah dari kemaha kuasaan Tuhan YME. Tuhan YME telah menganugerahkan kitab-kitab yang mengandung ajaran suci kepada umat manusia.
Bila kita peras inti sari petunjuk Yang Maha Esa, yang dibawakan oleh para Nabi yang tersirat di dalam kitab suci tersimpullah lima jalan menuju kebahagiaan.
1. Menjiwakan makna dari ke Maha Esaan.
2. Bersembahyang
3. Mengendalikan hawa nafsu
4. Budi Dharma
5. Berbudi luhur
apabila lima jalan kebahagiaan ini ditempuh secara keseluruhan dicapailah kebahagiaan yagn bersifat abadi.
Kalimasada Pustaka Jamus selain menjadi milik pribadi dari Juddisthira juga menjadi tuntunan seluruh keluarga Pandawa, Oleh karenanya Pandawa berhasil mencapai cita-cita yang diidamkan ilah: Kebahagiaan, kelak di dalam Perang Agung Barat Yudha ke angkara murkaan yang merajalela dari Sata Korawa dapat dipunahkan dengan mempergunakan Kalimasada sebagai senjata pamungkas.
Apabila manusia telah menjiwakan makna dari ke Maha Esaan sehingga sifat-sifat dari sumber kebaikan itu dekat sekali padanya, bahkan tepat menyinggung kesadarannya, maka tidak ada jarak lagi yagn dapat ditempati oleh kebalikan dari sifat maha baik itu, yang memakan dirinya kejelekan yang bersumber dari kegelapan untuk menghambat terpancarnya kebahagiaan yang pasti segera dapat diresapi. Kesusahan, penderitaan, kekhawatiran, ketakutan, ketidak harmonisan kejahatan, tidak mampu lagi tegak mempertahankan dirinya. Tidak mungkin menyatakan dirinya seperti gelap yang lenyap ditelah oelh terang yang hadir memenuhi ruang yang gelap itu.
Untuk mempertahankan kebahagiaan agar tidak bergeser dari kesadarannya, titik sadar harus diikatkan kepada sumber kebahagiaan itu. Diikat dengan ketat pada sumber itu. Bersembahyang atau menembah adalah pengikatan itu. Apabila dengan menembah, benar-benar dapat mengikatkan dengan kesadaran sadarnya terhadap ke Maha Esaan, maka kebahagiaan selalu dimilikinya.
Setalah ke Maha Esaan dapat dijiwakan karena selau sadar akan adanya di dalam panembah, segala perbuatannya akan mencerminkan asmanya. Gejala yang bersumber dari hal itu adalah Budi Dharma, berbentuk pemberian dari Budi yang suci. Berupa apapun juga kepada siapapun juga. Materiil maupun spirituail. Tergantung dari kebutuhan yang akan diberinya dan menurut kemampuan pemberinya.
Untuk menjaga agar supaya tidak terjadi penyelundupan motif yagn datangnya dari nafsu yang negatif terhadap hal-hal tersebut di atas, haruslah nafsu-nafsu itu dikendalikan. Mengendalikan hawa nafsu berarti mengarahkan dorongan nafsu itu dan mengenalikannya menurut ukuran yang di Butuhkannya.
apabila hawa nafsu telah tunduk dan menjadi taat seperti kuda yagn telah dapat dikendalikan. Kemudian kuda-kuda seperti itu dipakai untuk menarik kereta yang dinaiki oleh seorang Pangeran yang membawakan missi Budi Dharma langsung dari kehendak yagn Maha Esa. Kelangsungan itu diikat didalam kesadaran di dalam manembah dan kesadaran akan ke Maha Esaan itu telah terpateri di dalam jiwa. Maka Sang Pangeran akan selamat di dalam menjalankan tugasnya dan sampai kepada tujuan. Sang Pangeran telah mencapai Budi Luhur.
Kelima jalan utama itu atau kalimasada itulah yang menjamin kemenangan Pandawa di dalam perang Agung Barata Yudha.

galihBHIMA

Bhima adalah putra kedua dari Pandhu yang lahir dalam keadaan bungkus, tetapi Bhima Bungkus lahir lebih dahulu dari Pandhu. Hal ini mengkiaskan bahwa hidup yang sejati yang abadi barulah disadari adanya setelah bungkusnya yang berupa angan-angan mengerahkan segala kemampuannya untuk membuktikan, menyatakan, mengerti dan menyaari adanya. Bhima berarti besar. Bungkus dari hidup pada lapis yagn pertama yang dikenal sebagai jiwa, yagn berkemampuan cipta nalar dan pengerti, dapat memuat pengertian yang besar bahkan seluruh. Makro Kosmos termuat didalamnya. Oleh karena itu Bhima digambarkan dengan tubuh yang besar.
Disebut juga Werkudara. Werku berarti anjing hutan. Udara berarti perut. Werkudara membawakan sifat perut anjing hutan. amat lahap memakan mangsanya. Oleh karena Werkudara adalah nama lain dari Bhima lambang dari adanya angan-angan atau pikir, tentulah sifat lahap ini dimaksudkan lahap di dalam memakan pengertian.
Bahwa Bhima adalah lambang adanya angan-angan yang berkemampuan: Cipta nalar dan pengerti yang tidak terbatas oleh keterbatasan materi, dapat dilihat dari sifat-sifat dan kemampuan putra-putra dari Bhima. Gatotkaca, dapat terbang di angkasa, Antareja, berkemampuan menerobos bumi, Antasena berjalan di dlam air. Hal tersebut melukiskan bahwa angan-angan dapat bergerak menerobos bumi, air dan angkasa.
Bhima mempunyai senjata gada yang disebut gada Rujak Polo. Polo berarti otak, hal ini menjelaskan kepada kita bahwa angan-angan mempergunakan alat jasmai dan di sebut otak. Atau sebaliknya Bhima melukiskan sesuatu yang mempergunakan alat jasmani yang disebut otak.
Bhima mempunyai ciri khas tidak berbasa-basi lagi pula tidak pernah berjongkok. Itulah sifat dari nalar dan pengerti. Lurus, logis, tidak dapat diperdayakan.
Bhima mengenakan Kampun (sejenis pakaian Poleng Bang Bintula. Kampuh poleng mempunyai empat macam warna: Merah, kunging, putih, dan hitam. Warna-warna ini adalah lambang dari nafsu. Nafsu merah dari desakan kedagingan yang berasal dari anasir api. Nafsu hitam yang berasal dari anasir tanah. Nafsu kuning yang berasal dari anasir swasana (udara). Nafsu putih yagn berasal dari anasir air. Empat anasir tersebut merupakan pembentuk jasmani. Masing-masing anasir membawa sifat asalnya, selalu menyerta dirinya. Dorongan sifat-sifat asal ini mengalir seperti air yang mengalir dari gunung, diwaktu banjir dapat mengakibatkan malapetaka. Itulah sebabnya harus diawasi, diatur, dikendalikan. Cipta, nalar dan pengerti harus selalu mengikuti gerak geriknya. Menyalurkan kepada arah yang benar. Dalam hal ini Bhima dapat mengendalikan ke empat jenis nafsu tersebut, dan mempergunakannya secara benar. Dengan demikian tepatlah lukisan Bhima itu. Bhima mengenakan kampuh dengan empat macam warna. Karena Ehima telah menaklukkan, menguasai dan dapat mengendalikan nafsu-nafsu tersebut.
Di dalam kisah “Dewa Ruci”, diceritakan bagaimana Bhima dapat menghadap Dewa Ruci atau Sang Guru sejati. Bagaimana Bhima melepaskan diri dari rintangan-rintangan yang berupa nafsu dan pernyataannya yang melilit dirinya seprti seekor naga yang besar. Dengan kuku Panca Kenaka ular yang melilit tubuhnya dapat dikalahkan. Hal itu melukiskan bahwa angan-angan kadang dibelit oleh bisikan nafsu kedagingan. Belitan ini dapat dibebaskan dengan lima sifat utama dari jiwa yang merupakan senjata dari jiwa untuk melindungi dirinya dari bisikan nafsu.
Setelah nafsu itu berhasil dihilangkan muncullah Dewa Ruci, masuklah Bhima ke dalam telinga Dewa Ruci, atas izinNya. Ternyata di dalam ruangan yang sesempit itu, dirinya termuat didalamnya dan segalanya termuat pula tanpa pernah menjadi penuh. Keterbatasan tak mungkin memenuhi ketidak terbatasan, sebaliknya ketidak terbatasan, selalu menyelimuti dan menggenangi keterbataan.
Gerakan keluar dari cipta nalar dan pengerti telah di arahkan masuk ke dalam dan kesadaran itu menguncup menjadi satu titik sadar yagn disebut Budi. Dengan demikian Bhima melukiskan tingkat kesadaran pikir atau nalar dan pengerti sejati yang titik sadarnya ada dialam budi.
Bhima dengan kuku Panca kenaka dapat mengalahkan ular Naga yang melilit tubuhnya. Kuku merupakan pengaman diri (senjat) yang dimiliki olerh manusia secara kodrati. Timbul bersama-sama kelahiran jasmaninya. Oleh karena Panca Kenaka milik Bhima, sedang Bhima menggambarkan jiwa manusia maka Panca Kenaka melambangkan senjat dari jiwa. Ialah kemampuan dari jiwa yang menimbulkan perasaan positif dan negatif sebagai akibat dari terlaksana atau tidaknya dorongan kodrati kejasmanian. Dorongan kedagingan ini menuntut pemenuhan kebutuhannya dan mempengaruhi alat-alat pelaksana termasuk angan-angan atau jiwa untuk mempergunakan kemampuannya mewujudkan tuntutan itu. Dengan demikian gerak dari cipta, nalar dan pengerti tidak tertuju khusus untuk melaksanakan gataran hidup dari hidupnya yang sejati Sebagian kemampuannya membelok untuk mewujudkan tuntutan dorongan nafsu-nafsu itu. Seperti lilitan Naga pada tubuh Bhima pada waktu mencari air suci Perwita Sari.
Apabila manusia dapat mempergunakan Panca Kenaka itu pastilah dia dapat bebas dari pengaruh negarif dari lilitan nafsu pada tubuh jiwanya.
Apabila kita memperhatikan tali yagn ditarik, timbullah tegangan pada tali itu. Tegangan itu arahnya berlawanan dengan arah gaya tarikan. Tegangan timbul sebagai reaksi atas Aksi yang emnimpa padanya yang berupa tarikan itu.
Apabila nafsu mengadkan tarikan terhadap jiwa untuk mewujudkan kehendaknya maka secara otomatis timbullah tolakan reaksi terhadapnya.
Reaksi itu merupakan sifat dan sikap jiwa keluar untuk mengimbangi desakan nafsu itu ke dalam.
Nafsu merah, terjadi dari sari halusnya nasir api, semangat, dorongan. Perwujudannya adalah: marah, tergesa-gesa berkuasa, menghamburkan tenaga. Apabila nafsu ini melilit jiwa timbulah reaksi dari jiwa untuk mengimbangi dan menyeringnya. Sifat dari sikap ini disebut: Sabar. Sikap dan sikap sabar ini dapat dilatih dengan menyadari dan mengawasi datangnya nafsu merah dan dengan kesadaran itu pula mengadakan tolakan yang bersifat selektif tahap demi tahap. Beberapa methode dipakai untuk melatih watak sabar ini diantaranya seperti berikut: setiap kali tersadar akan datangnya nafsu merah dan segera setelah itu kita hendak menyetujui dorongan nafsu itu untuk dilaksanakan, secara tegas kita menahan tindakan itu. Kemudian kita menghitung angka satu sampai dengan angka sepuluh dengan menarik nafas yang longgar dan panjang selama hitungan itu terasalah adanya pengendapan tenaga. Dorongan nafsu akan sirna. Setelah sepuluh hitungan kita dapat bertindak lebih cepat.
Nafsu hitam terjadi dari sari halusnya anasir bumi, bersifat: lekat, melekat. Perwujudannya adalah: malas, makan minum, Sexuil , congkak, tamak, tinggi hati. Nafsu ini dapatmelilit jiwa seperti : keinginan untuk minum minuman keras, kegemaran makan berlebih-lebihan dan enak, keukaan bermalasmalasan, kesenengan dipuji dan dihormati, kenikmatan berhubungan sexuil, semuanya dapat mengaktifkan melekatkannya kebiasaan-kebiasaan seolah-olah sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan.
Sebagai reaksinya timbullah sikap jiwa yang disebut: Rela. Artinya tidak melekat dan tidak terikat. Watak rela ini dapat diperkembangkan dan dilatih dengan sadar. Salah satu cara adalah dengan menahan kesenangan-kesenagan yang biasa dilakukan. Umumnya disebut puasa.
Nafsu yang berwarna putih. Berasal dari sari halusnya anasir air, bersifat positif, menuju kemeimangan yang sesuai dengan menyadari kemampunan pribadi, harmonis. Nafsu ini perlu dipelihara karena jalannya searah dengan getaran asal. Air mencari tempat yagn sesuai dengan tenaga yagn dikandungnya. Oleh karena itu sifat dan sikap jiwa ini disebut: Narima, artinya sesuai dengan apa yang dimiliki. Nafsu ini perlu dijaga jagnan sampai bekerja sama dengan nafsu hitam, sehingga akibatnya adalah: rasa rendah diri, pemalu dan sebagainya.
Nafsu yang berwarna kuning: Berasal dari sari halus anasir swasana (udara). Bersifat positif searah dengan getaran asal, oleh karena itu perlu dikembangkan. Nafsu ini seperti sifat swasana ialah meliputi semuanya, sehingga semuanya terikat dalam satu perasaan yagn tunggal. Oleh karena itu perwujudan dari nafsu kuning ini adalah sikap sosial, kasih sayang, menolong, dapat merasakan kebahagiaan/kesusahan orang lain. Nafsu kuning ini searah dengan getaran “ke asalan” yang bersifat: satu, kasih, adil, benar. Nafsu kuning searah dengan hal itu, melangsungkan getaran itu, dengan demikian sikap jiwa terhadapnya dalah “jujur”, berarti menyetujui, menjalankan, membukakan tuntutan-tuntutan itu tanpa manipulasi dan korupsi. Keempat sikap jiwa itu: rela, sabar, narima dan jujur dapat bekerja sama secara harmonis menimbulkan Budi Luhur. Kelima watak yang baik dari jiwa yang mengarah keluar inilah yang mampu membebaskan manusia dari lilitan nafsu yang membelit jiwanya.

HARJUNA

Angan-angan mempunyai kemampuan, cipta, nalar dan pengerti, diragakan oleh putra-putra Pandhu dari Dewi Kunthi. Apabila cipta, nalar, dan pengerti terbebas sama sekali dari pengaruh duniawi, tak tergoyahkan di dalam kesadaran kesejatian, dan bertitik sadar di alam sejati, keadaan itu dilukiskan oleh Yudisthira. Apabila angan-angan bertumpu pada pkir atau nalar dan pengerti sejati, maka titik sadar akan didalam budi, ditokohkan oleh Bhima. Apabila cipta menjadi titik pusat kemampuan angan-angan dan kesejatian dari cipta ini disadari, maka titik sadar akan berada pada alam cipta. Hal ini digambarkan oleh Harjuna.
Harjuna berasal dari Herjuna. Her berarti air. Jun adalah nama dari tempat air. Maka Herjuna mempunyai maksud air yang berada pada tempatnya. Air didalam bahasa rohani berargi hidup. degnan demikian Herjuna berarti hidup (dengan huruf H besar) yang ada di dalam tempat hidup (dengan huruf b kecil) berarti maha ada, (dengan huruf A besar) yang merefleksi di dalam ada (dengan huruf a kecil), berarti hidup (dengan huruf h kecil) yang tersinggung oleh Hidup (dengan huruf H besar). Harjuna merupakan titik pusat atau titik tengah dari hidup. Hal ini dilukiskan secara tepat di dalam urut-urutan kelima saudara Pandawa. Harjuna jatuh pada urut ketiga atau panengah dari Pandawa Lima. Oleh karena itu disebut PAMADE (= yagn ditengah).
Harjuna bergelar juga: Begawan Cipta Ning berati cipta yang jernih. Cipta yang terpisah dari endapan dan kotoran kebendaan. Di dalam bagian cerita “Begawan Cipta Ning” setelah mengalahkan raksasa Niwata Kawaca, harjuna mendapat anugerah seorang bidadari yang cantik bernama Dewi Supraba. Supraba berarti cahaya yang gemilang. Demikian gemilangnya sehingga dilukiskan sebagai bidadari. Manusia yang dapat membersihkan ciptanya dari lapiran-lapisan kotoran duniawi sehingga ciptanya dari lapisan-lapisan kotoran duniawi sehingga ciptanya langsung memancar ke luar dari kesejatian cipta, akan memancarkan swasana di sekelilingnya menjadi terang. Bahkan cahaya yagn terbersit dari cipta yang bersih itu dapat ditangkap oleh panca indera jasmaniah.
Sinar dari cipta amat baik dan lembut. Mengandung daya kasih yang memelihara, daya kekuasaan yang melindungi sehingga dapat menggetarkan setiap hati manusia. Oleh karena itu diceritakan bahwa Harjuna lebih cakap dari yang cakap. Harjuna dicinta oleh setiap wanita. harjuna disebut “Lananging Jagad”.
Cipta berkemampuan mengadakan atau melahirkan. Di dalam bentuk mental, cipta akan melahirkan ide. Di dalam bentuk kejasmanian cipta mengadakan kelahiran atau keturunan. Oleh karena itu Harjuna disebut juga: Janaka. jana berarti bibit atau titik hidup. Ka kependekan dari Loka berarti tempat. Sehingga Janaka berarti tempat titik hidup, tempat tunas hidup.
Cipta yagn benar dan baik melahirkan ide yang benar dan baik, ide yang benar dan baik inilah yang berhak emmpergunakan alat-alat pelaksana manusia. Hal ini dilukiskan oleh PARIKESIT. Parikesit adalah turun pancar dari Harjuna. Parikesitlah yang mewarisi Astina Pura setelah Pandawa unggul di dalam perang Agung Barata Yudha. Berarti setelah kegelapan lenyap dari kesadaran terpancarlah cipta sejati. Lahirlah ide yang baik seperti sumbernya. Ide ini siap untuk diwujudkan dengan mempergunakan segala peralatan yagn ada di dalam diri manusia. Ide ini dinobatkan menjadi raja. Di dalam wayangdilukiskan sebagai berikut: Harjuna mempunyai putra: Ongka Wijaya, Ongkawijaya bherarti cita-cita yang terpilih. (Ongka berarti cita-cita, Wi berarti lebih, Jaya berarti unggul). Atau ide yagn baik. Ongka Wijaya berputra Pari Kesit, dan Parikesitlah yang dinobatkan menjadi raja di Astinapura. Ide yagn baik dilahirkan menjadi ide yang konkrit dan segala perlengkapan mengabdi kepaanya untuk mewujudkan dan melaksanakan kehendaknya.

NAKULA dan SADEWA

Kedua ksatria ini adalah putera kembar dari Pandhu Dwwanata dengan Madrim. Madrim dapat diartikan: tanah (bandingkan dengan Mutter= ibu; Mother= ibu; Mother land= tanah tumpah darah). Dengan demikian Nakula dan Sadewa merupakan bentuk kerja sama antara cipta nalar dan pangerti yang dalam kesatuannya disebut angan-angan dengan unsur-unsur kebendaan. Bentuk kerja sama itu terdapat didalam Panca Indera. Di dalam kesadaran kebendaan, panca indera berbentuk materiil: sepasang mata untuk melihat, sepasang telinga untuk mendengar, sepasang lubang hidung untuk membau, lidah untuk merasakan, kulit untuk perabaan. Di samping itu di dalam kesadaran rohaniah. Panca indera berbentuk rohaniah pula: Kemampuan melihat, kemampuan mendengar, kemampuan membau, kemampuan merasakan, dan kemampuan perabaan, dengan panca indera batin. Panca Indera lahi dan batin ini bagaikan saudara kembar. Itulah makna bahwa Nakula dan Sadewa adalah kembar.

Dengan panca indera jasmaniah, manusia menyadari sesuatu: ada dan nyata. Ada materiil. Ada dan wujud. Kemampuan ini dinyatakan dengan nama Nakula, Na berarti ada. Kula berarti titah, mahluk, ciptaan. Sehingga Nakula berarti adanya mahluk, ciptaan wujudiah, mawujud.

Dengan panca indera rohaniah, manusia menyadari sesuatu; ada di dalam essensinya, di dalam halnya, di dalam isi hakekatnya. Kemampuan menyadari adanya sesuatu yang ada dan nyata, maupun yang tidak nyata tapi ada, tidak memerlukan keterbatasan yang disebut rupa, kemampuan ini disebut kemampuan dewa. Kemampuan ini dilukiskan dengan kata: Sadewa, berarti seperti dewa atau setingkat dewa.

Kelima indera itu di dalam pembeberannya diwakili oleh indera mata. Mata terdiri dari dua bola mata yang berbentuk lensa. Bentuk lensa ini mirip dengan bentuk biji sawo. Kedua bola mata yang berbentuk biji sawo terletak pada ketinggian yang sejajar. Tanda ini sinandi di dalam istilah Sawo Jajar, Nakula dan Sadewa bertempat tinggal di Kesatrian Sawo Jajar.

Dengan demikian Nakula adalah titik kesadaran bahwa individualitas itu ada dan nyata, dengan alat indera jasmani. Sedangkan Sadewa adalah titik kesadaran bahwa individualitas itu ada, di dalam hakekat adanya, dengan alat indera batin.

Adapun kelima indera itu adalah:

  1. Pendengar: alatnya adalah telinga, indera ini bersifat selektif. Getaran yang terlalu lemah dan juga yang terlalu keras tidak dapat merangsang syaraf pendengar. apabila getaran bunyi merangsang indera pendengar sentuhan itu diteruskan ke otak. Otak memasknya untuk dimengerti. Pengertian ini terabsorb atau merembes ke dalam jiwa. Bersama-sama dengan gelombang metafisik. Gelombang ini hanya dapat ditangkap oleh indera sejati yang rohaniah disebut indera batin dan langsung diterima oleh jiwa. Manusia dapat melatih indera batin ini, sehingga dapat mendengar dalam arti yang sebenarnya tidak terbatas oleh jarak dan waktu.
  2. Penglihat: Alatnya adalah mata. Mata mendapat rangsangan dari gelombang-gelombang warna yang mempunyai panjang gelombang amat kecil. Mata juga bersifat selektif, hanya warna-warna tertentu dapat dilihat dengan mata. Di samping gelombang warna yang amat halus itu memancar pula gelombang metafisik yang non materi: gelombang ini hanya dapat ditangkap oleh indera penglihat batin atau mata batin, langsung dalam hakekat pengertiannya terbebas dari jarak dan waktu.
  3. Peraba: alat penginderaan perabaan adalah kulit. Kulit mempunyai simpul-simpul syarat yang dapat menerima rangsangan: kasar, halus, panas, dingin, lunak, keras. Di samping itu dimiliki pula perabaan batin yang terlebar dari jarak dan waktu.
  4. Pengecap: alat pengecap adalah lidah. Lidah dapat menerima rangsangan khusus berupa rasa: manis, asam, asin dan pahit beserta kombinasinya. Indera pengecap batin terdapat pula mendampingi indera pengecap ini.
  5. Pembau: alat pembau adalah hidung. Rongga hidung mempunyai syarat-syaraf yang peka terhadap rangsang gas-gas dengan struktur kimia tertentu indera ini didampingi pula dengan indera batin.

Indera jasmani dan indera batin bekerja sama secara harmonis. Di dalam kesadaran yang bertitik sadar id alam jasmani, Indera jasmani akan lebih muncul kedepan. Sebaliknya di dalam kesadaran rohani, secara bertingkat sesuai dengan tingkatan kesadaran rohaninya bertingkat pula pemakaian indera batin.

Kelima panca indera jasmani terbuka sebagai lima pintu gerbang penyerapan dari Makro Kosmos ke dalam Mikro Kosmos. Penyerapan-penyerapan ini di dalam tingkatan kesadaran monodualis yang memberat kepada jasmani, terkontrol secara pasoif oleh indera batin. Pada peningkatan taraf kerohanian yang dicapai dengan pengalusan budi menuju sifat keluhuran, meningkat pula fungsi indera batin ini.

Dengan memperhatikan hubungan dari keluarga Barata kita dapat melihat anatomi jiwa manusia. Manusia ciptaan Tuhan YME ide yang sempurna bersifat rohaniah (Abiyasa). manusia mengabdi pada penciptanya, oleh karena itu hanyalah ada satu kemungkinan baginya ialah membabarkan karsanya, lambat atau cepat. Untuk membabarkan karsa yang terkandung di dalam keabadian yang tak meungkin teraih oleh sifat kebendaan di alam ini, roh manusia diperlengkapi dengan alat-alat yang sesuai dengan situasi alam yang menjadi tempat tersadarnya pembabaran yang berupa pencerminan itu. Manusia dilengkapi dengan jiwa dan raga. Jiwa terdiri dari tiga lapisan.

Lapisan yang terhalus disebut angan-angan (Pandhu Dewanata). Lapisan yagn terkasar yang merupakan sari halusnya anasir pembentuk badan disebut nafsu (Dresta Rastra). Interaksi antara nafsu dan angan-angan menimbulkanperasaan positif, netral, atau negatif, sebagai iklim dari jiwa (Yama Widura). Angan-angan berkemampuan Cipta, nalar, dan pengerti, (Harjuna, Bhima, Yudhisthira). Cipta, nalar dan pangerti dapat menerobos tempat dan waktu (Gatotkaca, Antareja, Antasena). Sedang nafsu berdiferensiasi menjadi amat banyaknya (Kurawa). Angan-angan dan keseluruhan dari jiwa mengadakan hubungan dengan kosmos melewati pintu gerbang panca indera yang kembar (Nakula, Sadewa).

manusia dengan peralatan tersebut dapat memerintah jasmani (Astinapura), untuk membabarkan atau menobatkan ide sejati pada tkhta, untuk memegang kekuasaan pemerintahan, Parikesit). Proses ini terjadi di dalam kesadaran jasmani (Astinapura; Ksetra) dan disebut Perang Barata Yudha.

PANAKAWAN

Ketidak selarasan di dalam bekerjanya alat-alat dari hidup mengakibtkan desintegrasi jiwa, sehingga fungsi pencerminan akan terganggu. Titik sadar akan bergeser dari tempatnya sehingga wujud bayangan hasil pencerminan tidak sesuai dengan wujud asalnya. Sehingga terasa adanya ketidak bahagiaan. Begitu juga di dalam wayang Purwa. Apabila terjadi kesukaran menimpa Pandawa akan gegerlah negara Amarta. Kesukaran itu berulah dapat diatasi setelah keutuhan Pandawa dicapai kembali.

Untuk mewujudkan keadilan dinegeri Amarta, Pandawa yang dipimpin oleh Yudhisthira mempunyai pembantu yang bersifat dewa yang disebut panakawan: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. SEmar mempunyai wujud bulat, wujud bukan laki-laki dan bukanperempuan. Mata selalu memandang ke arah rambut yang merupakan jambil di ubun-ubun. Gareng mempunyai bentuk badan mengharukan: kaki pincang, tangan cacad. Petruk mempunyai ciri khas tinggi lurus. Hidung panjang dan mempunyai sebuah pundi-pundi yang disebut: kanthong bolong. Gareng dan Petruk emmpunyai senjata arit untuk memangkas rumput dan pethel untuk menebang pohon-pohon. Keempat Punakawan mengenakan kain dari empat warna Merah, hitam, kuning dan putih.

Panakawan berarti sahabat. (Pana berarti tahu, Kawan: teman). Teman sehati yang selalu bersama dan tahu di dalam kegembiraan dan kesusahan. Pana Kawan disebut juga: Wulu cumbu. Wulu berarti bulu. Cumbu berarti kerasan, tetap tinggal ditempatnya. Oelh karena itu Wulu cumbu berarti tetap bersama-sama dengan setia dalam keadaan apapun.

Keempat wulu cumbu ini selalu menyertai Pandawa dan disebutkan bahwa mereka mempunyai senjata sederhana pemangkas rumput dan pemotong dahan-dahan kayu. Diceritakan bahwa Gareng mempergunakan senjata Arit dan Petruk mempergunakan senjata Kapak (Pethel). Oleh karena selalu emnyertai Pandawa sebagai cerminan dari jiwa manusia, maka wulu cumbu ini melukiskan kemampuan jiwa yang selalu melekat padanya. Apabila jiwa manusia digambarkan sebagai sebuah teman, maka Pana Kawan ini adalah juru taman yang siap membersihkan rerumputan dan perdu yang tumbuh mengotori taman itu. Oleh karena sumber pengotoran jiwa manusia adalah tuntutan nafsu yang tak terkontrol maka tepatlah kalau dilukiskan bahwa panakawan ini memakai kain dengan empat warna. Berarti dengan bantuan panakawan ini jiwa dapat menguasai nafsu-nafsunya, yaitu nafsu merah, kuning, putih dan hitam. Nafsu-nafsu itu mendesakkan kebutuhannya kepada lapisan yang lebih fungsionil untuk dilaksanakan, seolah-olah kebutuhan nafsu itu menjadi “Kebutuhan ku”. Setiap saat timbul keinginan itu, pada saat itu pula timbul sikap jiwa yang menyaringnya secara selektif. Sehingga kebutuhan itu dapat disaring pula. Di sini sikap jiwa itu akan menghadapi secara frontal gelombang-gelombang nafsu dipanang dari arah: dalam atau jiwa. Dengan demikian sikap jiwa itu bersifat membantu, oelh karena itu disebut panakawan, wulu cumbu atau sahabat yang tahu atau pembantu yang mengerti. apabila sikap ini bersifat menentang atau lawan. Oleh karena itu dilukiskan sebgai senjuat dan disebut Panca Kanaka *). (*) Baca: Bhima.

Senjata kapak ataupun arit melukiskan alat sederhana, yang mudah didaptakan untuk merambas pohon-pohon yang mengotori halaman.

Tersebutlah suatu pohon ajaib, yang mengandung misteri yang disebut pohon Aswata. Pohon ini berakar diangkasa. Pucuk, ranting dan daunnya ada di dunia. Pohon ini merupakan symbul dari nafsu yang berasal dari sari halusnya kosmos dan terkumpul di dalam badan; dunia kecil manusia. Bercabang berdaun dan berbuah di sana. Cabang-cabangnya menutupi jiwa manusia. Daun-daunnya yang rimbun menghalangi pancaran sinar kesucian. Buahnya menjadi biji dan tumbuh sebagai benalu di dalam kesucian. Itulah pohon Aswata atau nafsu. Harus segera dirambas dan dibersihkan, kalau mungkin ditebang sama sekali. Panakawan yang setia itu telah siap dengan senjatanya yang sederhana untuk merambas segala macam perdu yang mengotori taman bunga jiwa. Agar supaya cahaya dari Hidup yang sejati, sempurna memancar menerangi taman jiwa yagn penuh dengan keindahan abadi itu.

Petruk bertubuh panjang, berleher panjang melukiskan sifat jiwa yang elastis, tidak mudah patah. Sifat ini disebut Sabar. Sabar berarti tidak lekas marah. Marah adalah luapan energie dari kandugnan tenaga nafsu merah. Sifat sabar berarti sifat laut yang menampung semua aliran sungai tanpa membuat dirinya penuh. Demikian pula Petruk. Sifat ini dijelaskan oleh nama Kanthong Bolong. Kanthong Bolong berarti pundi-pundi yang berubang. Berapa saja dia diisi, tak akan menjadi penuh. Di samping itu kanthong yang bolong tak akan berisi uang. Berarti tidak memiliki. Perasaan tidak memiliki sesuatu mengakibatkan lepasnya kelekatan terhadap apa-apa yang dimiliki, pernah dimiliki atau yagn akan dimiliki. Sifat bebas dariri kelekatan terhaap sesuatu disebut sifat rela. Sikap rela ini akan menantang nafsu-nafsu hitam yang berasal dari halusnya anasir Bumi.

Gareng dilukiskan dengan cacad-cacad tubuh. Kaki pengkor, tangan bengkok, tubuh kurus ceking. Keadaan jasmaniah tidak mempengaruhi kebaktiannya terhadap Pandawa. Dia bekerja pada tugasnya dengan keadaan yang dia miliki dengan kemampuan maximal yang ada padanya. Itulah sifat yang disebut Narima, yagn berarti sesuai dengan potensi yang dikandungnya. Garenag berarti garing atau kering. Semua yang harus diberikan telah diberikan, tidak ada sisa pada tubuhnya. Telah kering. Inilah sifat jujur yang berarti memancarkan apa yang harus dipancarkan, memberikan apa yang harus diberikan tanpa manipulasi dan motif kepentingan pribadi.

Keempat sifat itu sebagai kesatuannya disebut budi luhur. Oleh karena itu dilukiskan bahwa Gareng dan Petruk mengangkat Semar sebagai bapaknya. Dengan sikap jiwa yang luhur, manusia akan mengarah ke dalam, memandang kepada kesucian. Oleh karena itu Semar dilukiskan selalu emmandang kearah jambul diubun-ubunnya, tempat turunnya sikap ke dalam, selalu ingat kepada: Penciptanya kepada asalnya. Ini dapat dicapai oelh karena nafsu telah taat dan perasaan telah dinetralkan, sehingga percaya dan menghayati arti bahagia.

Bagong dari kependekan: tiba gong. Artinya jatuh pada bunyi gong. Tarian, yang selalu tepat pada bunyi gong adalah tarian yang bagus. Tokoh bagong dimaksudkan sebgai persetujuan bahwa telah genaplah jalinan perumpamaan yang sinandi di dalam bentuk dan fungsi panakawan. Berarti dengan munculnya Bagong, koreksi bersifat menggaris bawahi dan menyetujui.

Lebih jauh lagi ditambahkan bahwa dengan tumbangnya pohon Aswata dan dicapainya budi luhur maka rasa jenis akan pudar, rasa aku akan melebur, rasa diri akan luluh, rasa diri akan menjadi rasa bersama, kesadaran akan adanya tepi menjadi rasa ditengah yang berimpit dengan semuanya. Ketakutan dan kekhawatiran akan hilang menjadi teguh. Keragu-raguan akan berubah menjadi pasti. Kebencian akan berubah menjadi cinta. Karena dia telah menginjak pada taraf kesejatian jiwa.

Oleh karena itu Semar dilukiskan bukan laki-laki juga bukan perempuan. Di dalam kekhusukan sembahyang atau di dalam puncak Semadhi terkilatlah perasaan ini dimana benteng ke Akuan telah disinarkan menginjak ambang rasa Sejati. Itulah batas antara gelap dan terang. Batas antara maya dan nyata, karena Semar masih berfungsi sebgai Panakawan dari Pandawa. Karena Semar masih berdiri pada ambang. Oleh karena itu Semar disebut Semar yang berarti samar, batas antara gelap dan terang. Apabila jenjang itu ditinggalkan dan melangkah pada Rasa Sejati, Semar akan lenyap menjadi Sang Hyang Ismaya.

Samar disebut juga Badranaya, Badra berarti susah, Naya berarti mengawasi. Maka Badra Naya berarti yang mengawasi kesusahan. Atau yang menaklukkan kesusahan. Kesusahan atau penderitaan adalah buah dari pohon Aswata atau nafsu. Kesusahan hanyalah dapat dikalahkan oleh sikap luhur dari jiwa, ialah gabungan dari keempat sikap jiwa yang diperankan oleh putera-putera Semar. Oleh karena itu Badra Naya adalah Semar.

Badra Naya dapat mengalahkan nafsu-nafsu oleh karena itu Badra Naya bertugas mengawasi nafsu. Oleh karena itu Badra Naya menjadi Panakawan dari Pandawa.





KELUARGA BESAR KURAWA

28 03 2009

Kemaha kuasaan yang meliputi semuanya, maha kebijaksanaan yang menyangkut segalanya, kemaha adilan yang menyelesaikan setiap keadaan, kemaha adaan yang mengisi setiap ruang dan menembus setiap kekosongan, menjadi asal dari segala asal, menjadi sebab mula sebab. Maha Kasihnya memelihara setiap yang ada, maha penyayang memelihara dengan hukumny. Semuanya bergetar, meliputi, menyelimuti semua yang ada dan tak ada sesuatu yang dapat berada di luar keadaannya.
Manusialah kancah yang dapat menangkap getaran-getaran itu dan mencerminkan keadaan-keadaannya. Aagar supaya manusia dapat menangkap getaran-getaran itu yang sudah berdiferensiasi, yang sudah mengurai dan luluh di dalam Kesadaran Ke-Alam-an maka atas kebijaksanaan Yang Maha Bijaksana roh manusia diperlengkapi dengan badan jasmani dan jiwa. Badan jasmani untuk mengadakan kontak kebendaan, sedang jiwa untuk mengadakan Kontak Kerohanian.
Desakan badan jasmani melapis dibagian luar dari jiwa disebut nafsu. Cerminan dari keadaan ke-Asalan memancar dari roh suci manusia dan melapis dibagian dalam jiwa disebut angan-angan. Perimbangan dari kedua keadaan merupakan lapisan tengah dari jiwa disebut perasaan.
Hal-hal tersebut diproyeksikan di dalam wayang purwa di dalam bentuk: Abiyasa mempunyai tiga orang putra: Drestarastra (nafsu – Yamawidura (perasaan) dan Pandudewanata (angan-angan).
Drestarastra melukiskan nafsu manusia. Manusia mempunyai nafsu bermacam-macam yagn berasal dari desakan kedagingan. Di dalam wayang disebut bahwa drestrarastra mempunyai putra 100 yang berasal dari daging.
Daging selalu menjadi lambang dari nafsu. nafsu yang bersifat kedagingan secara naluriah menuntut agar supaya kebutuhan terpenuhi. Akan tetapi kebutuhan dari nafsu amat banyak dan tak mengenal puas. Oleh karena itu nafsu digambarkan sebagai tokoh yang buta: (Dresta=buta; rastra=mata). Bila deskan nafsu dengan segala upayanya sedang menguasai manusia maka tertutuplan sinar dari angan-angan yang berupa cipta nalar dan pengertian tertutup oleh tebalnya lapisan nafsu. Nafsu mendominir pemerintahan atas jiwa manusia. Dengan demikian semua pemerintahan atas badan manusia di bawah pengaruh nafsu tersebut.
Hal ini di dalam cerita wayang terdapat pada bagian: “Bale si-gala-gala”. Pandawa (Pandhu Putra) diasingkan dari Kerajaan bertahun-tahun. Tipu daya kaum kurawa menghendaki lebih jauh lagi. Pandawa akan dibakar agar supaya seluruh kerajaan Astina dimilikinya.
Itulah nafsu: sekali dapat menguasai jiwa manusia, selamanya akan berusaha bertahta di sana. Lagi pula nafsu mempunyai tuntutan yang tak terhitung banyaknya. Hal ini di dalam wayang dilukiskan oleh para putra dan Drestarastra. Sebagian besar mempunyai nama berawalan Dur, yang berarti jelek atau jahat.
1. Duryudana: Dur berarti jahat, Yudana berarti pemimpin perang. Arti keseluruhan: Pemimpin dari kejahatan.
2. Dursasana: tempat kejahatan, istana kerajaan.
3. Dursala: berteman kejahatan.
4. Dursala: yang jelek dari perbuatan jelek
5. Jalasandha: Jala berarti alat penangkap. Sanda terarti pemalu.
6. Suma: susah, sedih
7 Saha: berarti putus.
8. Windha: sempit, gelap
9. Hanuwindha: permulaan dari kesempitan/
10. Durdarsa
11. Durpradarsa: motif dari kejahatan.
12Subahu
13 Durkarna (telinga yang suka mendenarkan hal yang jellek).
Wiwing sati (hati yang lemah).
17. Wkarna
18. Sala
19. Satwa (watak hewani)
20. Sulocana (mata yang terlalu tajam).
dsb.
Dari seratus orang putra Drestarastra masing-masing menyebutkan kejelekan atau kejahan sebagai akibat dorongan kebutaan dari nafsu.
Kurawa berkuasa atas negara astinapura sampai akhir perang barata yuda.
Sebelum najsu bergerak tanpa pengawasan, selama itu pula ide sejati tetap tersilam di dalam jiwa. Pada keadaan demikian nafsu menjadi sumber segala tindak. Kebutuhan-kebutuhan dari nafsu meningkat menjadi kebutuhan-kebutuhan KU terasalah bahwa dorongan, tekanan dari keinginan demikian kuatnya sehingga segala alat-alat perlaksana tubuh melaksanakannya. Aku yang sebenarnya bukan aku, tetapi angan-angan yang tunduk oleh fasu. Yang sebenarnya bukan kebutuhanku, melainkan kebutuhan getaran nafsu, tetapi keinginan getaran nafsu, menjadi keinginanku.
Manakah yang akan menjadi pemenang dan mengangkat dirinya menjadi “Aku”, dan bagaimanakah perebutan kekuasaan itu dilukiskan di dalam pagelaran Wayang Purwa, khususnya di dalam kisah-kisah Maha Barata yang diakhiri dengan Barata Yuda.





MAHABARATA

27 03 2009

Dalam kancah yang telah terwujud oleh kebijaksanaan Yang Maha Esa, kesadaran akan adanya hidup dapat kita tangkap. Di dalam kancah itu terbabarlah “Karsa” yang selalu bergetar yang bersumber dari asal mula jadi yang ada di dalam alam sejati, yang bergetar dalam “alam Kumitir”.
Intensitas dan kapasitas kancah-kancah itu di dalam menangkap getaran kesadaran hidup satu sama lain berbeda. Ada yang maksimum, ada yagn minimum. Di dalam silsilah wayang di sebutkan bahwa antara Mkro Kosmos dan Makro Kosmos terdapat persamaan sumber, yaitu: Sang Hyang Wisesaning Tungga atau Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia adalah sebagian dari makro Kosmos yang memiliki semua inti dari Makro Kosmos itu. Selain itu menyinggung didirinya, dan menusia mempunyai kemampuan yang terbanyak di dalam menangkap getaran dari “Asal mula sumber” itu.
Keluhuran, kemulyaan, keistimewaan dan kelengkapan manusia dapat kita lihat di dalam wayang purwa yang disibulkan sebagai: Abiyasa.
Abiyasa adalah seorang Resi (Pendita) dari pertapaan Wukiratawu. Abiyasa atau Wiyasa mempunyai arti sudah terlatih atau amat terlatih, berarti juga “biasa” atau “bisa”. Nama Pertapaan akan memberi penjelasan lebih lanjut “Wukiratawu” berasal dari 2 suku kata: Wukir, berarti Gunung dan Atawu berarti menguras, mengambil air atau menimba. Yang dimaksud tentulah menimba atau mengambil ilmu. Hanya manusialah makhluk yang dapat menerima ilmu. Oleh karena itu Abiyasa merupakan proyeksi dari manusia. Binatang tidak mungkin berilmu walaupun binatang ini bisa dilatih untuk mengerjakan sesuatu.
Beberapa ahli ilmu Jiwa Barat telah mencoba melatih kera dan ayam. Ternyata mereka dapat dilatih dengan baik, tapi tidak bisa menerima ilmu Pengetahuan. Kita ambil contoh komidi kera. Kera dapat dilatih mengendarai Sepeda, merokok, berbelanja dsb. Perintah yang diberikan kepadanya berupa seruan tertentu diiringi bunyi-bunyian tertentu pula. Janganlah mencoba dengan bunyi yang lain atau memakai seruan yang lain, sebab kera tersebut tidak akan mengerti. Dia hanya mengenal, terlatih tapi tidak berpikir.
Sekarang kita mebali kepada Begawan Abiyasa sebagai lambang manusia dengan ciri “berilmu pengetahuan”. alasan ini diperkuat dengan nama dari Abiyasa yaitu: KRESNA DIPAYANA.
Kresna sebagai lambang dari Roh. Kresna berarti gelap atau hitam. Berarti barang yang ada tapi tidak kelihatan. Itulah Roh. Dipayana berarti: ada di dalam bumi atau pulau (Dipa-dwipa = pulau, Yana = ada). Arti keseluruhannya adalah: Roh yang ada di bumi. Karena Kresna melambangkan roh dalam tingkatan luhur, maka Kresna dipayana akan berarti manusia.
Resi Abiyasa mempunyai kerajaan ciptaan yang dikenal sebagai Astina Pura. Kelak Artina Pura ini diperebutkan oleh keturunan Abiyasa sendiri. Di dalam perang Agung Barata Yudha, golongan Kurawa (keturunan Abiyasa dari Prabu Drestarastra) bertempur dengan golonga Pandawa (keturunan Abiyasa dari Pandudewanata).
Abiyasa melukiskan jiwa manusia, sedang Astina Pura adalah raga. Jiwa manusia mempunyai unsur-unsur yang satu sama lain berbeda fungsinya, bahkan terkadang bertentangan. Hal ini dijelaskan oleh putra-putra Resi Abiyasa.
Tersebutlah bahwa abiyasa mempunyai 3 orang putra:
1. Drestarasta: dengan cacad, buta kedua matanya.
2. Pandudewanata dengan cacad, tidak dapat menoleh (tengeng).
3. Yamawidura dengan cacad, lumpuh.
Drestarastra, menggambarkan nafsu Dresta, berarti buta, Rastra berarti mata. Siapapun tunduk kepda nafsu, diibaratkan seperti orang buta. Tidak melihat apa-apa. Tidak melihat siapa-siapa. Hanya kepentingan sendiri yang didorong oleh hawa nafsunya sajalah yang diturutinya.
Pandudewanata, bercacad tengeng berarti tidak dapat menoleh. Hal ini merupakan sandisastra (tanda) terhadap seseorang yang telah mengerti atau mendapat petunjuk. Pandu berarti petunjuk. Pandudewanata berarti (Petunjuk Tuhan). Pengertian didahului bekerjanya nalar yang merupakan kelanjutan dari cipta. Cipta, nalar dan mengerti sebagai kesatuan disebut: angan yang terang.
Yamawidura, bercacad lumpuh. Lumpuh berarti tidak berdaya, tidak berkekuatan. Keadannya tergantung dari kekuatan yang ada disebelah kanan dan kekuatan yang ada disebelah kiri. Yamawidura melukiskan sifat penimbang. Apabila dorongan sebelah kira (nafsu) lebih kuat daripada dorongan sebelah kanan (angan-angan, cipta, nalar, mengerti), maka hasil perbuatan akan menjadi jelek. Sebaliknya, perbuatan yang baik, apabila dituntun oleh kebijaksanaan dan keluhuran budi, mengalahkan tuntutan nafsu.
Apabila nafsu terpenuhi, timbulah rasa senang, puas. Sebaliknya, apabila nafsu tidak terpenuhi, timbulah rasa tidak puas, marah. apabila angan-angan tak terpenuhi timbulah rasa negatif, sedih.
Jadi, Yamawidura adalah lambang perimbangan positif dan negatif di dalam jiwa manusia. Hasil dari perimbangan ini melahirkan perasaan atau iklim dari jiwa.
Dengan demikian, keluarga Abiyasa melukiskan candra jiwa manusia. Bahwa mansuia terdiri dari Roh ayng diperlengkapi dengan badan kasar dan badan halus, atau jasmani dan jiwa. Adapun jiwa manusia mengandung 3 lapisan: Nafsu, Angan-angan dan Perasaan.
Perincian dari nafsu-nafsu manusia dijelaskan oleh anak-anak Drestarastra yang berjumlah 100 orang (Kurawa), Perincian dari angan-angan (cipta, nalar dan pengerti) di jelaskan oleh keturusnan dari Prabu Pandudewanata yang kita kenal sebagai Keluarga Pandawa.

Dikutip dari buku Kupasan Wayang Purwa, tulisan Ki Wahyu Pratista.





WAYANG KULIT

27 03 2009

bamb1Pagelaran Wayang Purwa telah berusia berabad-abad dan tetap berada di tengah-tengah masyarakat. Pagelaran Wayang Purwa tetap mempunyai peran yang aktif dan positif, oleh karena menyuguhkan bermacam-macam kebutuhan masyarakat. Kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, kebutuhan untuk menikmati seni, kebutuhan untuk memperoleh pendidikan etika, pendidikan kewiryaan, pendidikan budi pekerti, pendidikan ilmu jiwa, ilmu kesempurnaan dsb.
Sebaliknya, pergelaran Wayang Purwa juga dapat dipakai oleh para pimpinan utnuk menyampaikan bermacam-macam 0pendidikan kepada masyarakat, Pendidikan ketatanegaraan, pendidikan tentang kepribadian yang luhur, menanamkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa diselipkan oleh Ki Dhalang ke dalam pagelaran wayang purwa.
Kita ambil contoh misalnya lakon “Kumbakarno Gugur” memberikan pendidikan atau contoh tentang cinta dan pengorbanan terhadap tanah air dan bangsa. Dia berkorban karena tahu bahwa latar belakang peperangan adalah angkara murka dari raja (Dasamuka). Cerita “Karna Tanding” memberikan lukisan tentang sifat-sifat Ksatria utama atau keluhuran budi.
akan tetapi, oleh karena wayang diciptakan untuk membeberkan bermacam-macam tujuan, hendaknya kitapun bias melihatnya dari bermacam-macam segi. Segi yang bersifat “kelahiran” dapat segera di tangkap arti dan maksudnya. Sebaliknya, maksud-maksud yang bersifat rohani tidaklah segera dapat kita mengerti. Maksud yang bersifat kohani ini terbungkus rapi, di dalam jalinan seni yang amat tinggi nilanya. Nilai yang tersembunyi yang harus dicari dengan mengupas kulit yang menjadi kelopak pembungkusnya. Bahkan di dalam pertunjukan pagelaran wayang purwa kita telah diajak menuju kesana sekalipun secara sinandi (rahasia).
Pada akhir pertunjukkan wayang purwa, pada pagelaran yang mengikuti tata-cara yang asli selalu di susul dengan keluarnya “Golek”. Ki Dhalang mengiprahkan wayang beberapa lamanya, barulah pertunjukkan berakhir. Hal tersebut memberi petunjuk kepada kita bahwa apa yang telah kita resapi di dalam pertunjukkan wayang kulit seharunya segeralah kita cari makna yang tersirat di dalamnya. “Golek”, dalam bahasa Indonesia berarti “cari”. Dengan demikian kita mendapat ajakn untuk mencari makna yang tersimpan sebagai isi dari pagelaran yagn baru saja di pentaskan.
Wayang kulit atau wayang purwa di buat dari kulit. Hal ini mengandung makna yang sinandi bahwa yang kita lita itu adalah kulit belaka. Jadi bukan isinya. Untuk mendapatkan isinya, buanglah kulitnya. Apabila kulit itu telah kita kupas barulah kita sampai kepada isinya.
Bahwa wayang mempunyai nilai-nilai istimewa yang tersembunyi di dalamnya, sinandi pula di dalam istilah “Ringgit” sebagai sinonim dari wayang. Selain wayang purwa, disebut pula “Ringgit Purwa”. Ringgit beraal dari 2 kata: Miring dan Anggit yang dipersatukan. Miring mempnyai arti tidak tegak lurus. Jadi untuk memperoleh pandangan isi dan bentuk yang sebenarnya haruslah kita memproyeksikan kembali pada proyeksi tegaknya. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Secara keselurhan Ringgit berarti: di cipta dalam bentuk yang miring. Selain kenyataan dari bentuk wayang juga dalam bentuk proyeksi miring, sinandi pula didalamnya ajaran-ajaran yang belum terus terang, yang masing miring, merupakan perumpamaan (yang harus kita kupas).
Istilah wayang itu sendiri telah memberikan petunjuk kepada kita bahwa yang kita saksikan itu hanyalah bayangannya. Belum wujud yang sebenarnya. Sebab wujud yang sebenarnya terletak di balik “Kelir” (tabir). Untuk melihat bentuk yang sebenarnya kita harus menyingkirkan kelir itu. Perumpamaan wayang sebagai bayangan dari seluruh segi kehidupan, kita harus membuka tabir yang menyelubungi makna yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, makna yang menjadi intisari terbungkus oleh selubung, kupaslah selubung yang menyelaputi itu, di sanalah isinya, di sanalah maknanya.
Rangkaian ajak ini, sampai pada tujuannya, sinandi dalam: wayang ditancapkan pada pohon pisang sebagai alasannya. Pisang dalam bahasa Jawa disebut “Gedang”. Kata-kata ini berasal dari “Geged” dan “Padang”. Geged berarti gigit. Artinya, apabila kita menggigit atau mencernakan apa yang kita saksikan di dalam pagelaran wayang, dalam arti kita tidak menelannya begitu saja, akan tercapailah keadaan “Padang” (terang). Keadaan ini tercapai apabila kita betul-betul mengerti dengan jalan mengupas kulit pembungkusnya dan mencernakan se halus-halusnya kemudian barulah kita menelannya sebagai suatu pengertian yang “menerangi”.
Itulah sebabnya wayang dapat dinikmati oelh seluruh lapisan masyarakat. Mereka semua mendapat suguhan sesuai dengan pengertiannya. Yang muda terpikat oleh karena kepahlawanannya. Sebgian yang lain terpikat oleh karena kehumorannya. Ada juga yang terpikat oelh ke asyikan ceritanya.
Arna pagelaran wayang diterangi dengan lampu yang dise BLENCONG (semacam lampu dengan bahan bakar minyak kelapa). Pada awal pergelaran Ki Dhalang selalu memutar gunungan berkeliling Blencong. Gunungan sebagai lambang dari bumi, sedangkan blencong melukiskan matahari. Hal tersebut menggambarkan bahwa bumi mengelilingi matahari. Gunungan melukiskan bumi, oleh karena itu di dalamnya dipahatkan gambar manusia, rumah, bermacam-macam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Blencong menyala dengan bahan bakar minyak kelapa, cahayanya menerangi seluruh ruangan. Ini melukiskan bahwa matahari mempunyai nyala, bercahaya dan memancarkan sinarnya ke planet lain termasuk bumi. Sedangkan bumi menerima sinar matahari itu, hal itu merupakan suatu penjelasan lagi bahwa matahari termasuk bintang/bercaya sedangkan bumi adalah planet/bukan sumber cahaya. Minyak kelapa melukiskan bahwa sinar matahari amat berguna dan digunakan oleh bermacam kehidupan di bumi, dan planet lainnya (kelapa, pergeseran dari kata ke – alap, yang berarti terpakai.
Pergelaran, wayang purwa dilengkapi dengan seperangkat Gamelan. Tiap-tiap kelompok mempunyai jumah tertentu: 5 – 7 -12 – 30 -36 buah dan seterusnya, hal tersebut dipakai untuk pembagian tahun menjadi bulan. Bulan menjadi hari, minggu menjadi hari, pasaran dan sebagainya.
Keseluruhan cerita Wayang Purwa yang dituturkan oleh Resi Wiyasa dan di dalam bentuk ringgit oleh Sultan Agung mewartakan tentang hal kejadian dan asal mula kejadian (Sangkan Paraning Dumadi).
I. Alam Kumitir (alam getar) hal ini hanya dijelaskan oleh Ki Dalang di dalam kesempatan-kesempatan khusus. Tidak diujudkan dalam peragaan wayang. Jaman sebelum ada wujud. Karena adnya kesadaran wujud belum lahir, masih ada di dalam kandungan Karsa. Sedangkan karsa masih bersilam di dalam kemutlakkan. Kemutlakkan yang mengandung ke Mahakuasaan itu bergetar, dan getaran itu diterima oleh ke Mahabijaksanaannya untuk dinyatakan di dalam kesadaran.
II. Jaman Dewa-dewa dan Jaman Menitisnya menjelaskan tentang terjadinya Makro – Kosmos atau Dunia besar atau Alam semesta. Oleh kemahabijaksanaan telah diterima getaran karsa itu dan diwujudkan di dalam kesadaran. Di dalam kesadaran, karsa itu memecah menjadi spektrum, ber diferensiasi, terurai menurut kancah yang menjadi media dari karsa itu. Karsa yang sudah mengurai itu, di lukiskan oleh tokoh dewa-dewa. Sedangkan kancah atau media untuk mencerminkan karsa di dalam kesadaran itu, dilukiskan oleh keturunan dari dewa-dewa yang pertama dan titisan dari para dewa itu. Kancah-kancah itulah makro kosmos. Di dalam macro kosmos inilah karsa yang terkandung di dalam ke Maha Esaan itu terbakar, terwujud, tercermin.
III. Kisah Mahabarata: memberikan uraian tentang Mikro Kosmos atau dunia kecil. Hidup dan kehidupan manusia. Disebut mikro kosmos oleh karena semua unsur dari makro kosmos terkandung di dalamnya.
Tiap-tiap tokoh di dalam Mahabarat melambangkan tiap bagian jiwa atau hidup manusia. Sehingga mahabarata merupakan bagian dari jiwa atau anatomi jiwa manusia.
Hal tersebut di atas sinandi (disembunyikan/bersembunyi) di dalam urut-urutan secara vertikal dan hubungan secara horisontal antara setiap tokoh wayang. Apabila perlu, penjelasan dapat dikorek lagi dengan mengupas arti atau makna yang terdapat di dalam: pakaian, senjat, bentuk badan, warna kulit, kesaktian, kerajaan dsb.
Jadi jelaslah bahwa tiap tokoh di dalam wayang purwa tidak dimaksudkan untuk menggambarkan: 1. manusia, akan tetapi justru seluruh wayang purwa itu menggambarkan satu hidup. Jadi mengupas makna dari wayang tidak jauh berbeda dengan melihat “hidup” dan melihat “diri sendiri”. Oleh karena melihat ke dalam diri sendiri itu amatlah sukarnya, pantaslah kita berterima kasih kepada Resi Wiyasa yang menuturkan cerita Wayang Purwa sebagai proyeksi dari “anatomi” hidup dan jiwa manusia. Dengan demikian atau tegasnya degnan “melihat” Wayang Purwa, kita dapat melihat diri sendiri yang sudah dibawa ke luar dari diri sendiri. Kita baca, kita pelajari, kita resapi, kita koreksi, kita perbaiki. Setelah kita masuk kembali yang disebut “mengerti”, maka kita seolah-olah terlahir menjadi “manusia baru” yang lebih manusia dari sebelumnya.

Dikutip dari Buku: Kupasan Wayang Purwa, tulisan Ki Wahyu Pratista.





UPACARA PERKAWINAN, YOGYAKARTA

25 03 2009

Upacara Sebelum Perkawinan

bagi masyarakat Yogyakarta, persiapan yang dilakukan sebelum perkawinan yaitu sekitar empat puluh hari sebelum perkawinan, calon mempelai wanita telah dipingit/disengker, artinya ia tidak diperkenenkan ke luar rumah, apa lagi bertemu dengan calon suaminya. Selama itu pula ia diharuskan berpuasa (pati broto. jawa) dengan megnurangi segala macam makanan yang mengandung lemak, minum jamu (obat) dan juga seluruh badannya dibarut dengan ramuan yang disebut mangir untuk menghaluskan kulit dan lulur untuk membuat kulit menjadi kuning.
Proses selanjutnya saat sebelum perkawinan adalah persiapan pemasangan tarub balai di depan rumah keluarga gadis (tratag jawa) yang akan digunakan untuk melangsungkan upacara perkawinan. Bagian yang disebut tratakg ini, dihias dengan daun kelapa yang muda, yang disebut janur. Kemudian di sebelah kanan-kiri pintu masuk ruangan perjamuan, dipasang jenis-jenis tumbuhan yang terdiri dari pohon pisang yang sedang berbuah (pisang raja), tebu, kelapa gading muda (cengkir), padi dan daun kelapa yang muda (janur. Hiasan ini disebut dengan istilah tuwuhan. Menurut Sidik Gondowarsito, tuwuhan ini melambangkan kemakmuran tanaman maupun harapan kemakmuran bagi calon keluarga yang baru. Hal ini mengingat, bahwa antara pengantin dan tanaman sangat erat hubungannya dengan adat kepercayaan Jawa (Sidik Gondowarsito, 1965: 21).
Nampaknya, tuwuhan dengan segala macam jenis tumbuhan yang ada di dalamnya itu, adalah merupakan lambang yang mempunyai arti sosiologis dan juga arti paedagogis. Dalam arti sosiologis dapat kita uraikan berdasarkan arti kata tuwuhan yang artinya tumbuhan (asal kata tuwuh = tumbuh). Berdasarkan arti katanya, tuwuhan dapat kita analogiskan sebagai suatu proses yang menunjukkan perubahan status sosial seseorang dalam kelompok atau masyarakatnya. Jadi melalui tanda-tanda simbolis yang diwujudkan dalam rupa tuwuhan ini. Hal ini menunjukkan, bahwa kedua mempelai yang telah menjadi suami istri itu, sejak perkawinannya mereka telah berubah status sebagai kesatuan keluarga batih yang seterusnya akan bertanggungjawab atas hasil atau akibat dari perkawinan mereka. Di dalam hal ini menyangkut pula perubahan pola cara berpikir mereka, artinya sejak perkawinannya itu mereka harus merubah pola cara-cara berpikir pada masa muda, sebab sesudah perkawinannya itu mereka telah diwisuda untuk masuk golongan orang tua atau sebagai orang yang telah berkeluarga (tuwuh/tukul pikirane sakwise dadi wong tuwa. Jawa).
Sedangkan apabila dilihat lebih jauh jenis tumbuhan yang ada untuk melengkapi tuwuhan itu, seperti pohon pisang juga mempunyai arti simbolis. Berdasarkan pengertian yang diucapkan oleh orang Jawa, yaitu untuk memberikan suatu arti pada suatu kata tertentu yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu (=jarwa dosok, jawa), maka jenis-jenis tumbuhan yang dipasang untuk tuwuhan itu mempunyai arti paedagogis misalnya saja:
1. tebu., ini merupakan tumbuhan yang mudah tumbuh. Bagi orang Jawa, tebu ini dipasang untuk tuwuhan, karena mempunyai arti yaitu melambangkan antebing kalbu, yaitu sikap kemantapan hati atau keteguhan hati kedua mempelai yang satu sama lain akan merupakan jodoh suami-istri yang tidak dapat dipisahkan oelh apa pun oleh sebab itu melalui lambang atau simbol tuwuhan tebu ini para orang tua telah memberikan pengertian pada kedua mempelai bahwa mereka satu sama lain merupakan jodoh yang tetap satu hati dan tidak boleh berpisah karena di antara keduanya telah memantapkan dirinya, bahwa mereka adalah suami istri. Adalah meruapakan celalan, bagi mereka suami istri yang mudah bercerai.

2. cengkir (kelapa gading muda). Seperti halnya simbol tebu. Cengkir bagi orang yogyakarta melambangkan arti kencenging pikir: maksudnya menunjukkan pada suatu pola pemikiran yagn telah mantap, bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah memang jodohnya. Di belakang arti kata cengkir ini, tidak bisa dibenarkan, bahwa apabila pada suatu ketika laki-laki meninggalkan perempuan itu yang sudah menjadi jodohnya atau istrinya, begitu pula sebaliknya. Melalui simbol cengkir ini orang tua akan memberikan pengertian kepada kedua mempelai, bahwa perkawinan mereka itu adalah berdasarkan hasil pemikiran yang telah mereka pertimbangkan bersama. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan kalau suatu ketika mereka saling menyalahkan satu sama lain.
3. padi, tumbuhan pada ini adalah merupanan lambang kehidupan pokok dlam masyarakat Jawa yang sebagian besar hidup dari pekerjaan bertani. Di samping itu, tumbuhan pada ini dalam adat kepercayaan Jawa mempunyai hubungan yagn erat dengan Dewi Sri yang dianggap pula sebagai dewi rumah-tangga atau Dewi Kesuburan. Melalui lambang padi, orang tua mengharapkan kebahagiaan hidup kedua mempelai itu.

4. Pisang raja, jenis pisang yang mempunyai nilai tertinggi di antara jenis pisang lainnya. Simbol ini mengggambarkan temanten laki-laki yang akan bertemu dengan temanten wanita, sebenarnya untuk menggambarkan pertemuan ini, kadang-kadang dilengkapi dengan jenis pisang yang lain, yaitu urut-urutannya; pisang raja, pisang sobo, pisang kluthuk dan kemudian pisang emas (=temanten wanita). Oleh sebab itu sehubungan dengan proses pertemuan kedua mempelai ini orang jawa mengatakan: Raja sobo kepethuk emas.

5. daun beringin, jenis tumbuhan ini melambangkan bahwa keluarga yang dibentuk suami istri ini diharapkan dapat memberikan pengayoman pada kerabat yang membutuhkan. Ini merupakan suatu pengertian yagn emmpunyai sifat peringatan kepada kedua mempelai, bahwa pada dasarnya mereka itu tidak hidup sendiri keadaan lingkungan di mana mereka sebagai bagian dari kelompok kekerabatannya, mereka hendaknya dpat emnerima kepentingan kelompok kerabat yang lainnya, misalnya bila salah satu anggota kelompok kerabatnya sedang emlakukan suatu kegiatan, maka mereka diharapkan bisa membantunya.

janur, adalah melambangkan ajaran orang tua kepada kedua mempelai, bahwa apabila terjadi di dalam rumah-tangga mereka suasana yang kurang baik, hendaknya hal ini jangan sampai orang di luar keluarganya mengetahuinya. Sehingga dalam rumah tangga itu tetap nampak serasi.

Kemudian setelah persiapan pemasangan tratag selesai, proses berikutnya adalah mempersiapkan untuk upacara siraman. Upacara siraman (=mandi) ini diadakan sebelum upacara midodareni, yaitu upacara yang diadakan pada malam hari sebelum upacara perkawinan. Upacara siraman ini dilakukan oleh baik pengantin perempuan maupun pengantin laki-laki di rumah mereka masing-masing.
Untuk melakukan upacara siraman ini, sengaja dipilih orang-orang tua dari keluarga terdekat calon pengantin yang mempunyai anak banyak dengan maksud agar merestui pada caon pengantin dengan harapan mudah-mudahan lekas mempunyai anak. Di samping itu juga diambil tuahnya. Ada sementara anggapan, bahwa upacara siraman ini bertujuan untuk mensucikan kedua calon mempelai sebelum memasuki malam midodareni, malam yang dianggap sakral. Setelah siraman, itu maka kedua calon mempelai dianggap telah suci.
Setelah upacara siraman selesai, pada malam harinya diadakan upacara yagn disebut Midodareni. Midodareni ini diadakan pada malam hari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Menurut anggapan malam midodareni ini dipandang sebagai malam yagn paling suci (=sacral). Sebab pada saat ini pengantin perempuan didatangi para widodareni (bidadari).
Midodareni merupakanpuncak daripada upacara sakral dari serangkaian upacara perkawinan, dan dalam upacara midodareni ini nampak pula sifat ritusnya. Di sini dapat dilihat sifat ritusnya yaitu pada saat itu (malam midodareni), calon mempelai perempuan dengan berpakaian sederhana didudukkan di muka senthong tengah. Di dalam masyarakat Jawa dan khususnya Yogyakarta yang sebagian besar penduduknya adalah terdiri dari petani, maka senthong tengah ini mempunyai arti magis dan sakral. Anggapan sakral ini adalah berhubungan dengan mata pencarian hidup mereka yang sebagian besar adalah sebagai petani. Menurut anggapan mereka pula, senthong tengah ini merupakan tempat istirahat yang disediakan untuk menghormat Dewi Padi atau Dewi Rumah-angga yaitu Desi Sri (=mBok Sri). Oleh sebab itu, senthong tengah ini kadang-kadang disebut pula petanen atau pendaringan yang maksudnya tempat istirahat Dewi Sri. yang kemudian akan diharapakan menjadi seorang yang pandai mengatur rumah tangga.
Di samping itu, sifat ritus daripada malam midodareni itu dapat pula dilihat dari adanya kelengkapan syarat-syarat upacara pengantin antara lain:
1. Kembar mayang yang diambil dari pembuatnya (biasanya tukang rias manten atau dhukun manten), sebanyak dua buah yang sama bentuknya.
2. Sirih yang diberi hiasan titik-titik dengan kapur (injet, Jawa).
3. Cengkir, kelapa yang sangat muda dan bunga setaman.

Tentang persyaratan-persyaratan untuk melengkapi pada upacara malam midodareni itu ada beberapa penafsiran yang bersifat ekonomis-paedagogis, terutama syarat-syarat seperti kembar mayang dan daun sirh. Menurut Sidik Gondowarsito, kembar mayang ini adalah semacam bouqette dari janur berupa bunga mayang (=bunga pinang) beberapa jenis daun-daunan, kelapa gading dan kesemuanya itu berbentuk pohon hayat (pohon surga) dengan nenas atau bunga pisang (=ontong, Jawa) sebagai mahkota di atasnya. Hal ini melambangkan pohon kehidupan dan pohon yang dapat memberikan segala sesuatu yang diinginkan.
Tetapi apabila diperhatikan jenis tumbuh-tumbuhan yang dipakai utnuk merangkai kembar mayang kita dapat memberikan penafsiran lain: sementara itu orang menunjukkan kepada kita, bahwa kembar mayang mempunyai sebutan aslinya, yaitu gar-gar-mayang artinya mayang (bunga pinang) yang telah mengurai (mekar) berkembang penuh. Dari sebutan aslinya kembar mayang memberikan arti kiasan yang menunjukkan adanya unsur pendidikan sex. Si Gadis mempelai wanita dalam hal ini dikiaskan sebagai mayang yang telah berkembang, sehingga nampak keindahannya. Dengan keindahannya itu, mayang tersebut akan menimbulkan kegairahan sang kembang dalam hal ini mempelai laki-laki, yang datang hinggap untuk menghisap sari madunya. Sedangkan perlengkapan yang lain yaitu sirih yang diberi titik-titik kapur, juga mengandung arti kiasan yang mempunyai unsur-unsur pendidikan sex.
Berdasarkan penafsiran yang ada, maka kembar mayang dan juga sirih serta kelengkapan manten lainnya, adalah merupakan arti kiasan yang mendekatkan pada arti pokok perkawinan secara biologis.
Di samping ulasan-ulasan tafsiran seperti tersebut di atas, berdasarkan bentuk kembar mayang yang menyerupai ujud gunung itu, adalah melukiskan existensi manusia yang sebenarnya merupakan bagian kecil daripada dunia. Bahkan dalam hal ini, van Peursen mengatakan, bahwa manusia dan alam raya saling meresapi dan oleh karena itu kekuatan manusiawi dan ilahi juga saling melebur (van Peursen). Sehubungan dengan ini, Poerbatjaraka dalam ulasannya tentang ajaran filosofi dan mystiek, juga menunjukkan hubungan manusia dengan dunianya alam raya yang antara lain nampak dalam perwujudannya dalam/sebgai gunung. Untuk lebih jelasnya akan kami kutipkan isi mystiek seperti berikut di bawah ini:

Bathara Siwah = Suwung
Sipatipun ingkang alus, inggih punika alusing donya
Yen karingkes, dados alusing redi Meru
Yen keringkes malih, dados alusing manungsa.

artinya:
Bathara Siwah = Suwung
Sifatnya yang halus, adalah Dunia
Apabila diringkas, adalah gunung
Bila diringkas yang lebih halus, adalah manusia.

Dari kutipan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa manusia dan gunung addalah berasal dari yang satu yaitu merupakan jelmaat Bathara Siwah. Oleh sebab itu, dengan kembanr mayang disertakan pada malam midodareni itu, merupakan petunjuk, bahwa manusia dan gunung itu merupakan satu kesatuan jelmaan Bathara Siwah, artinya gunung dengan tumbuhannya yagn ada itu merupakan kehidupan bagi manusia. Melalui mithos kembar mayang inilah terlihat dan terasakan sifat-sifat ritus daripada malam midodareni. Segala sesuatunya yang diadakan untuk melengkapi upacara malam midodareni itu, adalah disesuaikan dengan pandangan atau anggapan-anggapan yagn religius. Oleh sebab itu mempelai wanita pada malam midodarenai belum boleh tidur sebelum jam dua belas malam, sebab ada anggapan bahwa pada saat itu para bidadari datang untuk menyaksikan mempelai wanita. Di samping beberapa sajian untuk menolak kekuatan gaib yang hendak mengganggunya.

UPACARA PELAKSANAAN PERKAWINAN

Sebagai upacra puncak dari serangkaian upacara perkawinan yaitu pelaksanaan perkawinan. Bagi penduduk di Jawa, khususnya di Yogyakarta mengenalnya dengan istilah “temu”atau panggih atau kepanggihan. Upacara temu atau panggih yaitu upacara saat bertemunya pengantin laki-laki dengan pengantin perempun, diselenggarakan di tempat keluarga pengantin perempuan. Upacara ini diselenggarakan sesudah upacara pernikahan, yagn di dalam rangkaian acara upacara perkawinan adat merupakan upacara yang mempunyai peranan penting menurut norma-norma adat. Oleh karena itu, upacara pernikahan ini hanya dianggap sebagai upacara pendahuluan saja.
Adapun urut-urutan upacara temu ini, dapat dituturkan sebagai berikut: sebelum pengantin laki-laki datang, oleh pihak emmpelai wanita diberikan beberapa pakaian dan perlengkapnnya untuk dipakai pada waktu upacara temu atau penggih. Pakaian yang dimakdsud itu yaitu kain yang bercorak Sidomukti yang juga dipakai atau digunakan oleh mempelai wanita. Kain kembar ini disebut dengan istilah sawitan. Pakaian ini dilengkapi dengan bunga untuk perhiasan keris yang dikenakan mempelai laki-laki. Bunga perhiasan keris ini disebut gombyok, juga bunga melati untuk kalung dan hiasan telinga. Perlengkapan yang lain ialah sirih yang telah digulung dan diikat dengan benar yang disebut gantal. Semua perlengkapan ini dibuat oleh dhukun manten.
Sesudah semuanya selesai dipersiapkan, maka pada saat yang telah ditentukan, datanglah mempelai laki-laki diiringi oleh anggota kerabatnya ke tempat upacara. Setibanya di pintu gerbang upacara, diadakan upacara pertukaran kembar-mayang yang dilakukan oleh patah, yaitu gadis dan perjaka yang mengiringi mempelai. Seterusnya upacara temu ini dalakukan dengan saling melempar sadak/gantalan. Menurut anggapan, siapa yang lebih dulu melempar, maka dialah yang akan berkuasa dalam rumah-tangga. akan tetapi ada anggpan lain, bahwa saling melempar gantalan ini melambangkan hidup kedua suami-istri yang selanjutnya akan saling memberi dan menerima dengan setulus hati. Di samping itu pula, ada anggapan bahwa, sirih dianggap sebagai lambang pertemuan rasa antara suami dan istri.
Kemudian upacara dilanjutkan dengan acara menginjak telur yang ditempatkan pada sebuah cobek. Adapun yang harus menginjak telur adalah mempelai laki-laki. Kaki pengantin laki-laki yang kotor karena kena pecahan telur itu, dibersihkan oleh mempelai perempuan dengan menggunakan air bunga setaman yang telah disediakan dengan gayung tempurung kelapa (= siwur, Jawa). Hal ini melambangkan sikap yang tegas dari memplai laki-laki untuk menurunkan keturunannya melalui seorang perempuan yang menjadi istrinya dan yang menerimanya dengan segala kesucian hatinya.
bagi penduduk yang tinggal di pedesaan, sesudah upacara membasuh kaki dilangsungkan, dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama berdiri di atas pasangan waluku. Bagian dari upacara ini, melambangkan adanya hubungan yang erat antara manusia dengan mata pencarian hidupnya. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, harus dilakukan bersama-sama oleh suami dan istri.
Setelah upacara memecah telur, membasuh kaki, dan kedua mempelai berdiri di atas pasangan selesai, pengantin wanita di bimbing oleh pengantin laki-laki masuk ke dalam rumah. Sebelum keduanya menuju ke tempat pelaminan harus dilakukan syarat yaitu pengantin laki-laki menerobos benarng lawe (bahan kain tenun). Dari kata lawe, upacara ini melambangkan, bahwa sejak itu pengantin laki-laki berhak untuk menjadi anggota keluarga dan menjadi suami dari sang istri (Lawe, wenang = hak).
Sebelum didudukkan di tempat pelaminan yang ada di senthong tengah (petanen), kedua mempelai itu oleh kedua oeang tua mereka, yang pada saat itu memakai kain jenis truntun dan baju berwarna gelap. Di sini diadakan upacara, yaitu kedua mempelai setelah diterima oleh kedua orang tua, mereka kemudian dipangku oleh ayahnya. Setelah itu ibu menanyakan pada sang ayah, yang artinya berat mana antara anak menantu dengan anaknya sendiri. Yang dijawab oleh sang ayah sama saja. Acara berikutnya membawa kedua mempelai dengan cara pada punggung kedua mempelai disampirkan kain yang disebut sindur. Kemudian didudukkan di pelaminan, yang letaknya dimuka senthong tengah.
Bagian upacara ini melambangkan adanya sikap atau perilaku orang tua yang tidak akan membedakan antara anak menantu dan anak sendiri. Sedangkan duduknya kedua mempelai di muka senthong tengah adalah secara religius melambangkan hubugnan manusia dengan yang memberi hidup (Dewi Sri = dewi padi atau pertanian).
Sementara itu pada waktu berlangsungnya upacara temu/panggih kedua orang tua mempelai laki-laki tidak boleh hadir. baru setelah semuanya selesai, kedua orang tua mempelai laki-laki diperbolehkan hadir, untuk menerima sungkem kedua mempelai. Sedang kembar mayang, yang pada waktu permulaan temu/panggih telah dipertukarkan antara keduanya, kemudian dibuang ke perempatan jalan atau sungai. Hal ini merupakan tanda pemberitahuan, bahwa telah terjadi perkawinan antara pemuda dan gadis dengan selamat (arti simbolis).
Kemudian dilanjutkan dengan upacara yagn melambangkan pemberian nafkah suami kepada istri dan keluarganya. Upacara ini disebut dengan istilah kacar-kucur atau tampa kaya, yang ujudnya sekantung beras kuning (beras kunyit) yang berisi mata uang tembaga dan perak yagn jumlahnya sama dengan jumlah perhitungan nilai-nilai hari. Pemberian tampa kaya ini adalah merupakan tabungan sebagai jaminan bagi anak-anak mendatang dan tidak boleh diambil untuk kepentingan lain.
Upacara temu/panggih ini diakhiri dengan upacara kedua mempelai saling menyuapkan nasi ketan yang disebut dengan istilah dhahar mebul. Ini melambangkan kehidupan suami istri yang saling bantu membantu dalam menghadapi segala macam tantangan hidup. Segala hasil yang mereka peroleh, mereka rasakan sebagai milik mereka berdua.
Sebagai tambahan untuk melengkapi adat perkawinan di daerah Yogyakarta, akan disampaikan uraian singkat tentang jalannya upacara di Kraton Yogyakarta; yang pada dasarnya baik upacara perkawinan pada rakyat kebanyakanmaupun pada keluarga Kraton di Yogyakarta mempunyai prinsip yagn sama. Perbedaan yangnampak hanya dalam hal melaksanakan atau menyelenggarakan upacaranya saja.
Jalannya upacara perkawinan di Kraton Yogyakarta dimulai dengan mempersiapkan ranupado, yaitu alat-alat untuk upacara membasuh kaki dan memecah telur. Ranupado ini dipersiapkan di tengah-tengah bangsal upacara. Kemudian setalah semuanya selesai dipersiapkan, Narpocundoko Dalem, yaitu seorang Pangeran yang bertugas untuk memanggil pengantin pria datang ke kasatriyan (= tempat pengantin pria) untuk mengatakan bahwa pengantin putri telah siap dan oelh sebab itu upacara perkawinan dapat segera dimulai.
Setelah menerima kabar dari Narpocundoko Dalem maka keluarlah rombongan edan-edanan yang mendahului iring-iringan pengantin pria yang hendak menuju ke tempat tinggal pengantin putri (keputren). Fungsi diadakannya edan-edanan ini ialah untuk menolak semua gangguan gaib, sehingga semua upacara dapat berjalan selamat. Disusul kemudian kembar-mayang yang berhenti di tempat yang telah ditentukan untuk menanti kembar mayang dari pengantin putri yagn akan bersama-sama dibawa keluar dari Kraton.
Keluarnya edan-edanan dan kembar mayang disusul dengan keluarnya iring-iringan pengantin pria dari dalam Kasatriyan. Adapun urut-urutan dari iring-iringan pengantin pria adalah sebgai berikut: 1). berjalan paling depan adalah Narpocundoko Dalem; 2). di belakangnya dalah Penebus, yaitu seorang putri yang bertugas mengambil pengantin putri; 3). disusul kemudian Pembawa Sanggan yang terdiri dari para dhayang yang membawa sanggan, yaitu perelengkapan upacara yang terdiri dari beberapa sisir pisang, makanan dan sebagainya untuk diserahkan kepada pihak pengantin putri sebagai lambang telah dipenuhinya persyaratan yang diminta oelh pengantin putri kepada pengantin pria; 4). di belakangnya adalah Ingkang Cepeng Damel, adalah seorang Pangeran yang bertugas sebgai ketua upacara di dalem Kasatriyan, yang berjalan di muka pengantin pria; 5). Pengantin pria, yang berjalan di belakang Ingkang Cepeng Damel, yang mengenakan Basahan kebesaran Pengantin; 6). di belakang pengantin pria adalah penganthi, yaitu dua orang Pangeran yang mendampingi pengantin pria; 7). dan berjalan berikut adalah Ombyong, pengiring pengantin lain yang terdiri dari para Bupati.
Seandainya di tempat yang telah ditentukan iring-iringan pengantin pria berhenti dan hanya penebus dan pembawa sanggan yang terus berjalan menemui Ingkang Cepeng Damel, ketua panitia penyelenggara dari pihak pengantin putri untuk meminta pengantin putri. Kembar mayang dari pihak pengantin putri dikeluarkan dan bersama-sama kembar mayang pengantin pria daibwa keluar dari kraton. Sementara itu pengantin putri keluar dengan didampingi dua pengantin putri lain dan dua orang patah. Dalam upacara ini, pengantin putri mengenakan pakaian kebesaran yang juga dinamakan basahan dan coraknya sama dengan pakaian yang dikenakan pengantin pria.
Upacara berikutnya dalah upacara kepanggih. Dalam upacara kepanggih ini, kedua pengantin beserta para penganthi dan pengiring berjalan menuju ke tengah bangsal upacara di mana telah dipersiapkan alat-alat perlengkapan upacara, Ranupodo. Sementara itu pula kedua mempelai masing-masing telah membawa beberapa buah gantal atau sadak, yaitu daun sirih yang digulung dan diikat degnan benang, untuk kemudian saling dilembar dan melemparkan. Setelah saling melempar gantal, mempelai pria memecah telur dengan kakinya yang kemudian dibersihkan dengan air yang telah disediakan oleh mempelai putri. Upacara wijik ini, melambangkan bahwa betapa pun ia tinggi kedudukannya dalam masyarakat, dia akan melayani suami dan berbakti kepadanya dengan kesetiaan yang mendalam untuk selama-lamanya.
Setalah upacara tersebut di atas itu selesai, pengantin tersebut kemudian dipersandingkan duduk di atas pelaminan. Apabila dirasa sudah cukup, kedua mempelai dibawa menuju ke Dalem Kasatriyan untuk menjalankan upacara yang terakhir, yaitu upacara dhahar klimah dan tampi kaya. Dhahar klimah ini adalah nasi khusus yang telah dipersiapkan dan kemudian pengantin pria membuat beberapa kepalan nasi, untuk disantap pengantin putri. Dhahar Klimah ini melambangkan, bahwa suami akan selalu bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan keluarganya. Sedangkan tampi kaya, adalah upacara pengantin pria menuangkan uang logam yang jumlahnya cukup banyak, dari satu jambangan yang terbuat dari perak ke pangkuan pengantin putri. Tampa kaya ini melambangkan suami yang menyerahkan semua kekayaannya kepada istri untuk melestarikan hidup rumahtangganya.
Penduduk di jawa, khususnya mereka yang tinggal di daerah Yogyakarta, mengenal pula adanya upacara perkawinan yang disebut upacara bubak dan upacara tumplak punjen. Upacara bubak dilakukan apabila yang ikawinakan itu anak gadis yang sulung, dan upacara tumplak punjen dilakukan apabila yang dikawinakan itu adlah anak gadis bungsu. Di samping itu dikenal pula dalam rangkaian upacara perkawinan di Jawa, yang disebut upacara nglangkahi. Upacara ini dilakukan apabila seorang anak gadis yang dikawinkan itu terpaksa harus mendahului saudara sepupu baik laki-laki maupun perempuan yang lebih tuan umurnya dari gadis yang akan dikawinakan itu. Adapun syarat-syaratnya adalah diseseuaikan dengan permintaan saudara laki-laki ataupun perempuan mempelai perempuan.

UPACARA SESUDAH KAWIN

Penduduk di Jawa dan khususnya di Yogyakarta, mengenal adanya beberapa pantangan yang harus dilakukan oleh kedua mempelai, yaitu selama lebih kurang empat puluh hari keduanya tidak boleh bercampur. Mereka diperkenankan tidur bersama-sama, tetapi harus ada anggota keluarga pengantin wanita yang menunggunya. Di bawah tempat tidur mereka diletakkan beberapa sajian yang terdiri dari nasi, sayur, dan ayam serta bahan-bahan rujak, yatiu nenas, tebu, cengkir gading. Akan tetapi adat seperti ini, pada jaman sekarang sudah tidak ada lagi. Yang kita lihat hanyalah pengantin laki-laki tinggal untuk selama lima hari (sepasar, jawa) atau tiga puluh lima hari (selapanan, Jawa) di rumah mertuanya.
Setelah selama lima atau tiga puluh lima hari, kedua mempelai itu tinggal pada keluarga mempelai wanita, maka oleh orang tua pihak pengantin laki-laki kedua mempelai diminta untuk dibawa ke rumahnya. Peristiwa ini disebut dengan istilah ngunduh manten atau disebut ngundun manten. Upacara ini disertai dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mempelai berdua dijemput oleh kerabat mempelai laki-laki dengan membawa sanggan yang terdiri dari gedhang raja tahun (jumlahnya genap), kembang telon, dan jajan pasar.
2. Untuk pelaksanaannya disesuaikan dengan hari yang sudah ditentukan sesudah lima atau tiga puluh lima hari upacara temu.

Sementara itu, bersamaan degnan upacara ngunduh manten, diadakan pula upacara pemberian nama baru untuk kedua mempelai. Biasanya nama yang diberikan diambilkan dari nama orang tua mempelai laki-laki dan nama orang tua mempelai wanita. Pemberian nama ini melambangkan telah terbentuknya suatu kesatuan batin antara suami dan istri. Setalah kawin mereka adalah menjadi “satu”. Dengan terbentuknya yagn “satu” ini , timbul istilah yang dikenal orang Jawa yang disebut garwa, yagn maksudnya sigaran ing nyawa (= mereka masing-masing adalah bagian dari nyawa yang satu).
Di samping itu, pemberian nama baru ini mempunyai arti sosiologis, yang maksudnya memberitahukan pada masyarakat sekitarnya, terutama mengenai kedudukan harta kekayaan yang diperoleh selama mereka hidup berumah tangga.

Di kutip dari buku Adat dan Upacara Perkawinan DIY, Depdikbud, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1977/1978